Sabtu, 28 Januari 2012

Peristiwa G30S, Apa dan Bagaimana? (2)

 

                                            
           (Penggalian dan analisa pribadi-bagian 2)

        Oleh  :  Y.T. Taher, mantan Tapol, sekarang tinggal di Australia


Jenderal Suharto

Membicarakan soal G30S, dan menyoroti tokoh-tokohnya seperti Untung, Latief, Supardjo dan Syam Kamaruzzaman, rasanya kurang lengkap kalau kita tidak menyorot pula “tokoh paling penting” dalam masalah G30S dan Peristiwa 1965, yang telah merobah jalannya Revolusi Indonesia, yaitu Jenderal Suharto.

Menurut satu tulisan Drs. Harsono Sutedjo (Harsutejo), Orang tua dan keluarga Soeharto merupakan misteri. Dalam “otobiografi”-nya, yang ditulis oleh orang yang paling bertanggung jawab atas pembentukan citra publiknya, G. Dwipayana, Soeharto mengklaim bahwa ia dilahirkan di kalangan petani miskin di Desa Kemusuk di dekat Yogyakarta. Sebuah majalah yang dimiliki oleh bos intelijen militer yang dipercayanya mengklaim pada tahun 1974, bahwa ayahnya seorang ningrat. Dalam sebuah jawaban yang mungkin disiapkan lebih dulu, Soeharto mengundang wartawan ke ruang kerjanya di istana kepresidenan untuk menjelaskan garis keturunannya dan mengajukan saksi-saksi yang dapat menguatkan bahwa ia sungguh-sungguh orang yang baik, jujur, dan dapat dipercaya. Sekalipun ia menyanggah, garis keturunannya tetap diragukan. Di kalangan orang Indonesia tersebar luas cerita bahwa ia anak tidak sah dari seorang pedagang Tionghoa. 

Suharto memulai karir militernya sebagai kopral KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) alias tentara penjajah Belanda pada tahun 1940-an di Batalyon XIII di Rampal Malang. Karena “prestasinya” ia segera naik pangkat menjadi Sersan. Pada masa pendudukan Jepang, ketika ia menjadi anggota milisi Peta. Seperti anggota milisi lain, ia bergabung dengan tentara nasional Indonesia yang baru dibentuk begitu militer Jepang menyerah pada Agustus 1945.

SETELAH kemerdekaan tercapai dalam tahun 1949, Soeharto menanjak pangkatnya menjadi kolonel, kemudian brigadir jenderal, mayor jenderal, dan sampai menjadi Jenderal Besar (entah siapa yang menaikkan pangkatnya jadi Jenderal Besar!).

Ketika berada di Yogyakarta tahun 1946, dia ikut dalam percobaan kudeta 3 Juli bersama atasannya Mayjen Soedarsono, Komandan Divisi III APRI. Tetapi percobaan kudeta ini ternyata gagal. Para pelakunya ditangkap dan ditahan. Persis pada saat itu Soeharto berbalik arah. Ia yang semula berkomplot dengan peserta kudeta, berbalik menangkapi komplotan kudeta. Ia berdalih, keberadaannya sebagai anggota komplotan merupakan upaya Soeharto mengamankan komplotan dengan kata lain Suharto berhasil menyelesaikan “tokoh kudeta dan atasannya Mayjen Soedarsono. Itulah karakter Soeharto dan ia bangga dengan hal itu. Soeharto tidak merasa malu berbalik arah dari penjahat menjadi penyelamat. Nampak, pada awal Indonesia merdeka itu, Soeharto sudah menerapkan politik “bermuka dua”

Dalam Peristiwa Madiun, ada informasi yang mengatakan bahwa Suharto, Gatot Subroto dan Kartosuwiryo (yang kemudian jadi panglima DI/TII) adalah adalah para penjagal, pembunuh orang Komunis dalam Peristiwa Madiun dibawah arahan Kolonel A.H.Nasution dan Perdana Menteri Drs. Mohamad Hatta yang menjalankan garis AS yaitu menerapkan politik pembersihan kaum kiri (Red Drive Proposal) di Indonesia sebagai bagian makro politiknya untuk membendung komunisme.

Namun, Suharto terlalu licik, kendatipun ia sebagai penjagal, dia bisa “mencuci tangan” dengan mengatakan suatu kebenaran bahwa memang tidak ada bendera palu arit di Madiun ketika itu, sehingga orang-orang yang pro komunis kemudian hari menganggap bahwa Suharto adalah orang baik yang bisa diandalkan.

Pada akhir 1956 ketika rencana pengangkatan Kolonel Bambang Supeno sebagai Pangdam Diponegoro bocor, terjadi rapat gelap di Kopeng dihadiri sejumlah perwira yang dikoordinir oleh Letkol Suharto melalui anak buahnya Mayor Yoga Sugamo sebagai Asisten I Divisi di Semarang, Suharto sendiri tidak hadir. Dari puluhan perwira yang hadir hanya Kolonel dr Suhardi yang menandatangani setuju pencalonan Letkol Suharto dan menolak pencalonan Kolonel Bambang Supeno sebagai Pangdam. Suharto yang ingin merebut kedudukan ini berpacu dengan waktu karena pencalonan Bambang Supeno tinggal menunggu tanda tangan Presiden. Akhirnya komplotan tersebut berhasil.

Seandainya tidak, maka rapat gelap itu akan diusut, dan yang paling terbukti adalah Kolonel dr Suhardi, sedang Suharto tidak terbukti tersangkut karena Suharto menjadi ‘Mr Alibi’. Masalah tersebut dicatat juga oleh Ali Murtopo yang ketika itu Kapten dan Komandan Raiders yang diminta Yoga Sugomo untuk melakukan operasi intelijen soal pencalonan Suharto (Yoga Sugomo 1990:20-30). Selanjutnya Yoga Sugomo mencatat bahwa rapat di Kopeng itu dihadiri oleh Sudarmo Djojowiguno, Suryo Sumpeno, Surono, Pranoto, Suwito Haryoko (Asisten II), Suwarno (Asisten IV), dan Munadi (AsistenV). Ia dan Mayor Suryo Sumpeno berangkat ke Jakarta menemui Kolonel Zulkifli Lubis di MBAD untuk menggagalkan pencalonan Bambang Supeno dan menggantinya dengan Suharto. Usaha mereka berhasil (Yoga Sugomo 1990:80-82).

Inilah trio pertama Suharto-Ali Murtopo-Yoga Sugomo. Trio ini pula kelak melakukan usaha-usaha menikam politik konfrontasi Presiden Sukarno dengan penyelundupan ke Malaysia dan Singapura serta kontak-kontak politik gelap dengan pihak Malaysia melibatkan tenaga militer, politisi sipil anti komunis, pengusaha. Kontak-kontak trio ini di lapangan melibatkan Ali Murtopo, Benny Murdani, AR Ramly, selanjutnya di Malaysia dengan Des Alwi, Prof Sumitro (Yoga Sugomo 1990:139; Hanafi 1998:206). 

Trio ini pula kemudian menangani peristiwa G30S. Pagi-pagi pada 1 Oktober 1965 sebelum orang lain mengetahui keadaan yang sebenarnya, Kolonel Yoga menyatakan, “…Ini mesti perbuatan PKI…”. Selanjutnya, “Siapkan semua penjagaan, senjata, bongkar gudang. Ini PKI berontak”. Selanjutnya Letkol Ali Murtopo mencatat, “…berdasar penjelasan Pak Yoga kepada Pak Harto, maka kita bertiga kumpul lagi di ruang Pak Harto. Disini kita tentukan lagi nasib bangsa selanjutnya” (Yoga Sugomo 1990:37,148). Yang dimaksud Ali Murtopo dengan kata ‘lagi’ dalam “Di sini kita tentukan lagi nasib bangsa selanjutnya”, bahwa komplotan semacam itu telah pernah mereka lakukan sebelumnya ketika merancang operasi intelijen perebutan jabatan Panglima Diponegoro untuk Suharto seperti tersebut di atas. (Harsutejo)

Waktu Kolonel Suharto menjabat sebagai Panglima Diponegoro, dia dikenal sebagai sponsor penyelundupan dan berbagai tindak pelanggaran ekonomi lain dengan dalih untuk kesejahteraan anak buahnya. Suharto membentuk geng dengan sejumlah pengusaha seperti Lim Siu Liong, Bob Hasan, dan Tek Kiong, konon masih saudara tirinya. Dalam hubungan ini Kolonel Suharto dibantu oleh Letkol Munadi, Mayor Yoga Sugomo, dan Mayor Sujono Humardani. Komplotan bisnis ini telah bertindak jauh antara lain dengan menjual 200 truk AD selundupan kepada Tek Kiong.

Persoalannya dilaporkan kepada Letkol Pranoto Reksosamudro yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Staf Diponegoro, bawahan Suharto. Maka MBAD membentuk suatu team pemeriksa yang diketuai Mayjen Suprapto dengan anggota S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo. Langkah ini diikuti oleh surat perintah Jenderal Nasution kepada Jaksa Agung Sutarjo dalam rangka pemberantasan korupsi untuk menjemput Kolonel Suharto agar dibawa ke Jakarta pada 1959. Ia akhirnya dicopot sebagai Panglima Diponegoro dan digantikan oleh Pranoto, namun tidak diajukan ke depan pengadilan, namun disekolahkan di SESKOAD Bandung.

 Dengan pemecatan dirinya sebagai Panglima Divisi Diponegoro tersebut, Kolonel Soeharto sangat marah dan dendam, bersumpah untuk membuat perhitungan dan akan menghabisi, mereka-mereka yang membuat dirinya celaka. Mereka itu tidak lain adalah para perwira anggota Team Pengusut MBAD, yang terdiri dari Mayjen Suprapto, Deputi Pangad sebagai ketua, dengan aggota-anggota Team  Mayjen S.Parman,Mayjen Haryono M.T., Brigjen Soetoyo dan Brigjen Panjaitan. Serta penanda tangan Surat Keputusan Pemecatan Panglima Divisi Diponegoro yang tidak lain adalah Panglima Tertinggi/Presiden Soekarno.

 Di Bandung Kolonel Suharto bertemu dengan Kolonel Suwarto, Wadan Seskoad, hal ini sangat berpengaruh terhadap perjalanan hidup Suharto selanjutnya. Sekolah Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung yang telah berdiri sejak 1951 ini merupakan sebuah think tank AD, pendidikan militer Indonesia tertua, terbesar dan paling berpengaruh. Seskoad telah menjadi tempat penggodogan perkembangan doktrin militer di Indonesia. Sampai 1989 telah meluluskan 3500 perwira. Para alumninya menjadi tokoh terkemuka dalam pemerintahan. Hampir 100 orang menjadi sekretaris jenderal, gubernur, pimpinan lembaga-lembaga nasional atau badan-badan non departemental. Presiden, Wakil Presiden, dan lebih 30 menteri merupakan alumni Seskoad.

Suwarto sendiri pernah menempuh pendidikan Infantry Advance Course di Fort Benning pada 1954 dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth, AS pada 1958. Ia bersahabat dengan Prof Guy Pauker, konsultan RAND (Research and Development Corporation) yang dikunjunginya pada 1963 dan 1966. Suwartolah yang menjadikan Seskoad sebagai think tank politik MBAD, mengarahkan para perwira AD menjadi pemimpin politik potensial (Sundhaussen 1988:245/Harsutejo). 


Suharto, murid baru yang masuk pada Oktober 1959 ini telah mendapatkan perhatian besar dari sang guru. Pada awal 1960-an Suharto dilibatkan dalam penyusunan Doktrin Perang Wilayah serta dalam kebijaksanaan AD dalam segala segi kegiatan pemerintah dan tugas kepemerintahan. Peran Suharto dalam civic mission menempatkan dirinya dan sejumlah opsir yang condong pada PSI dalam pusat pendidikan dan pelatihan yang disokong oleh CIA lewat pemerintah AS, suatu program bersifat politik (Scott 1999:81). Pada masa Bandung Kolonel Suharto inilah agaknya hubungan Suwarto-Syam-Suharto-CIA mendapatkan dimensi baru (Hanafi 1998:20-25).

Y. Pohan dalam tulisannya mengatakan: “Soeharto sesungguhnya sangat berkepentingan atas tindakan yang diambil oleh Letkol. Untung. Untung bersama kawan-kawannya bertindak terhadap sejumlah jenderal pada tanggal 30 September malam itu. Karena jenderal-jenderal itu adalah rival-rival Soeharto, khususnya Jenderal A. Yani, rival utama yang dianggap sebagai penghalang utama untuk memperoleh kedudukan tertinggi dalam AD. Bukanlah rahasia umum lagi waktu itu di kalangan perwira-perwira AD bahwa Soeharto merasa sangat tidak puas dengan diangkatnya Jenderal A. Yani sebagai Pangad. Putusan Presiden Soekarno mengangkat Jenderal A. Yani tidak bisa diterima oleh Soeharto, karena sebagai perwira TNI ia merasa dirinya lebih senior”..

Kita telah sama-sama melihat, betapa dan sampai di mana kedekatannya Trio: Suharto dengan Untung dan Latief dan Trio: Suharto, Yoga Sugama dan Ali Murtopo. Sehingga, pembaca yang arif tentunya bisa menyimpulkan bahwa G30S adalah Untung, Latief, Suharto (+ Suparjo), sedang Gestok adalah Suharto, Yoga Sugama dan Ali Murtopo. Dus, baik G30S maupun Gestok, adalah sama-sama di bawah pimpinan Suharto!

“Ada fakta sangat keras, dua batalyon AD dari Jateng dan Jatim yang didatangkan ke Jakarta dengan senjata lengkap dan peluru tajam yang kemudian mendukung pasukan G30S, semua itu atas perintah Panglima Kostrad Mayjen. Soeharto yang diinspeksinya pada 30 September 1965 jam 08.00. Tentunya dia pun mengetahui dengan tepat kekuatan dan kelemahan pasukan tersebut beserta jejaring intelijennya, di samping adanya tali-temali dengan intelijen Kostrad lewat tangan Kolonel Ali Murtopo. Tentu saja masalah ini tak pernah diselidiki, jika dilakukan hal itu dapat membuka kedok Soeharto menjadi telanjang di depan korps TNI AD ketika itu. Mungkin saja jejaring Soeharto yang telah melumpuhkan logistik kedua batalyon tersebut, hingga Yon 530 dan dua kompi Yon 434 melapor dan minta makan ke markas Kostrad pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua pasukan ini bersama pasukan Letkol. Untung dihadapkan pada pasukan RPKAD. Itulah sejumlah indikasi kuat keterlibatan Jenderal Soeharto dalam G30S, ia bermain di dua kubu yang dia hadapkan dengan mengorbankan 6 jenderal.” (Harsutejo)

SEJAK 4 Oktober 1965, ketika dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang Buaya, maka disiapkanlah skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan propaganda hitam terhadap PKI dimulai dengan pidato fitnah Jenderal Soeharto tentang penyiksaan kejam dan biadab, Lubang Buaya sebagai wilayah AURI. Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan dongeng horor fitnah keji tentang perempuan Gerwani yang menari telanjang sambil menyilet kemaluan para jenderal dan mencungkil matanya. Ini semua bertentangan dengan hasil visum dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Soeharto sendiri yang diserahkan kepadanya pada 5 Oktober 1965. Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara berkesinambungan oleh dua koran AD, Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, RRI dan TVRI yang juga telah dikuasai AD, sedang koran-koran lain diberangus. Ketika sejumlah koran lain diperkenankan terbit, semuanya harus mengikuti irama dan pokok arahan AD. Seperti disebutkan dalam studi Dr. Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat daripada pencitraan Gerwani (gerakan perempuan kiri) yang dimanipulasi sebagai “pelacur bejat moral”. Kampanye ini benar-benar efektif dengan memasuki dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama. (Harsutejo)

PROPAGANDA bohong melalui media massa segera memicu kemarahan dan kebencian massa organisasi-organisasi yang sebelumnya memilih politik yang berseberangan dengan PKI dan ormas-ormas kiri pada umumnya. Situasi panas ini dimanfatkan sebaik-baiknya oleh golongan keagamaan, terutama NU, Muhammadiyah, dan Partai Katolik untuk membentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP Gestapu), di bawah pimpinan Subchan Z.E. (NU) dan Harry Tjan Silalahi (Katolik), tapi di belakangnya beberapa perwira Kostrad dengan Brigjen Sucipto sebagai pemrakarsa, yang melalui Adam Malik mendapat curahan Rp50 juta (nilai waktu itu US$ 1, 2 juta) dari Kedubes AS di Jakarta untuk mengganyang PKI.  Partai-partai lain, berikut ormas-ormas yang selama ini bersaing dengan PKI untuk memperoleh dukungan massa, seperti PSII, Partai Kristen Indonesia, bahkan PNI yang menjadi tumpuan Soekarno, bergabung dalam aksi pengganyangan ini, secara langsung maupun tidak. KAP Gestapu mengadakan demonstrasi-demonstrasi panas menghujat dan menuntut pembubaran PKI.

Setelah situasi matang, maka dilakukanlah gerakan militer untuk melakukan pembunuhan massal dengan menggunakan emosi tinggi sebagian rakyat terhadap anggota PKI dan siapa saja yang dianggap PKI serta pendukung Bung Karno yang lain di Jateng, Jatim, Bali, dan akhirnya di seluruh Indonesia. Hal ini dilanjutkan dengan pembersihan terhadap siapa saja, utamanya aparat yang mendukung BK, pertama-tama AURI selanjutnya di kalangan ABRI yang lain. Muaranya ialah menjatuhkan Presiden Sukarno. 

J
Peranan AS/CIA
DALAM situasi yang demikian, Marshall Green, Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta pada tanggal 5 Oktober 1965, mengirim telegram Nomor 868 yang ditujukan kepada Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, menyatakan:
Inilah saat yang tepat untuk mengenyahkan komunisme dari Indonesia. Namun bantuan harus secara diam-diam, Army now has opportunity to move against PKI if it act quickly……Momentum is now at peak with discovery of bodies of murdered army leaders. In short, its now or never…
Selanjutnya, Green memberikan beberapa panduan tentang sikap AS/CIA: *Hindari keterlibatan yang terang-terangan karena seiring berkembangnya perebutan kekuasaan. *Secara sembunyi, sampaikan dengan jelas kepada tokoh-tokoh kunci di ABRI seperti Nasution dan Soeharto tentang keinginan kita membantu apa yang kita bisa, sementara di saat bersamaan sampaikan kepada mereka asumsi kita bahwa kita sebaiknya menjaga agar setiap bentuk keterlibatan atau campur tangan kita tidak terlihat. Pertahankan dan jika mungkin perluas kontak kita dengan militer. *Sebarkan berita mengenai kesalahan PKI, pengkhianatan dan kebrutalannya (prioritas ini mungkin paling membutuhkan bantuan kita segera, yang dapat kita berikan kepada ABRI jika kita menemukan jalan untuk melakukannya tanpa diketahui bahwa hal itu merupakan usaha AS)Spread the story of PKIs guilt, treachery dan brutality (this priority effort is perhaps most—needed immediate assistance we can give army if we can find way to do it without identifying it as solely or largely US effort).”( Rita Uli Hutapea, Misteri CIA di Seputar G30S, detik.com, 08/8/2001. )
Ternyata, “panduan” Duta Besar AS/CIA, Marshall Green itu, terutama perihal menyebarluaskan “kesalahan PKI, pengkhianatan dan kebrutalannya”, serta penghancurannya, menjadi garis utama para perwira Angkatan Darat, yang kemudian menjadi panutan dan policy Angkatan Darat dan pemerintahan militer. Hal ini terbukti, sebagaimana yang dikatakan Duta Besar Green dalam telegramnya “prioritas ini membutuhkan bantuan kita segera … tanpa diketahui bahwa hal itu merupakan usaha AS … secara sembunyi sampaikan dengan jelas kepada tokoh-tokoh kunci di ABRI seperti Nasution dan Soeharto tentang keinginan kita … seiring dengan berkembangnya perebutan kekuasa-an….
Pada tanggal 5 Oktober itu juga, Phoenix Park Singapore (Kedutaan Inggris) mengirim telegram ke Departemen Luar Negeri di London, yang berbunyi: “….we should have no hesitation in doing what we can surreptitiously to blacken the PKI in the eyes of the people of Indonesia.” (Wiyanto Rahman, S.H., dalam Sarasehan Leuven Belgia: Peristiwa G30S dalam Tinjauan Ulang, http://arus.kerjabudaya.org/htm/1965_Seminar_Leuven.htm )
Dengan nada dan irama yang sama, hal tersebut diperjelas dalam rapat para jenderal militer di Kostrad pada tanggal 5 Oktober 1965 yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto dan Jenderal A.H. Nasution, yang menghasilkan panduan perihal pelaksanaan dari rencana penghancuran PKI. (Robinson, p.283, n.25). Tanggung jawab atas rencana dan segala cara-cara pelaksanaan operasi militer ini diakui dengan bangga oleh Jenderal Soeharto, melalui pernyataan yang tertulis dalam bukunya Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 1989, halaman 136, yang berbunyi:Sejak menyaksikan … apa yang didapat di Lubang Buaya, kegiatan saya yang utama adalah menghancurkan PKI, menumpas perlawanan mereka di mana-mana, di ibukota, di daerah-daerah, dan di pegunungan tempat pelarian mereka….”
Semenjak “ucapan” Soeharto, Pangkostrad yang mengangkat dirinya menjadi Pangad, dan bertekad untuk menghancurkan dan menumpas PKI, yang menjadi panutan dan policy militer (penguasa/pemerintah), maka pasukan-pasukan Angkatan Darat, terutama pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, menggalang milisi-milisi terutama dari organisasi-organisasi keagamaan seperti Banser NU, Pemuda Muhammadiyah, untuk memusnahkan anggota, simpatisan, bahkan anggota keluarga yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Para pemuda dipersenjatai, dilengkapi dengan alat komunikasi dan transportasi, dan didorong untuk melakukan tindakan-tindakan keji dan brutal terhadap orang-orang yang masih belum jelas apa salahnya, dan tidak tahu apa yang terjadi di Jakarta. Banyak korban jatuh justru setelah mereka diwajibkan melapor dan ‘diamankan’ di kantor-kantor polisi, militer atau institusi-institusi negara lainnya, seperti kecamatan atau kelurahan dan kemudian, tanpa diadili, dengan berbagai cara, dibunuh begitu saja.
Telegram Green, Duta Besar AS di Jakarta ke Washington tanggal 20 Oktober mengatakan: “Beberapa ribu kader PKI dilaporkan telah ditangkap di Jakarta … beberapa ratus di antaranya telah dibunuh. Kami mengetahui hal itu … pimpinan PKI Jakarta telah ditangkap dan barangkali telah dibunuh…. RPKAD tidak mengumpulkan tawanan, mereka langsung membunuh PKI.
Green melanjutkan: “pembersihan oleh AD berlanjut di kampung dan tempat-tempat lain di daerah Jakarta. Pemuda Muslim “membantu” mengawani pasukan militer. Sumber mengatakan “beberapa” pembunuhan merupakan hasil dari pembersihan ini. Fakta lebih jauh tentang hubungan militer dengan kumpulan yang terorganisir dalam kampanye anti PKI ini, dapat dilihat dari pertemuan antara Kolonel Ethel (CIA) dan pembantu dekat Jenderal Nasution, yang mengatakan bahwa demonstrasi anti PKI akan meningkatkan pengganyangan menjadi anti Tionghoa. Dan perusakan dan pendudukan kantor perdagangan Kedutaan Tiongkok di Cikini, bukan dilakukan oleh AD akan tetapi oleh “mereka yang bertindak untuk kita”, yaitu Muslim dan Ansor. Hanya 3 bulan semenjak kampanye anti PKI, CIA melaporkan: “Hampir semua anggota Politbiro PKI ditangkap, banyak di antara mereka telah dibunuh, termasuk tiga pimpinan tertinggi partai. Berita besar hari ini, adalah: ditangkap dan dibunuhnya Ketua PKI D.N. Aidit. Sedang pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI di Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, terus berlangsung….” Bagi AS dan sekutunya, keberhasilan Angkatan Darat Indonesia menghancurkan PKI adalah merupakan suatu kemenangan besar.” Demikian Marian Wilkinson menulis dalam Sydney Morning Herald, 10 Juli 1999.
Pembunuhan massal berkelanjutan, bukan saja di pulau Jawa namun di seluruh pelosok tanah air, nyawa-nyawa tak berdosa dibunuh karena dianggap PKI atau simpatisan PKI. Para korban dibunuh tanpa perikemanusiaan.
American Free Press menulis: “In Aceh, for example, the civilian were ‘decapitated and their heads were placed on stakes along the road’. The bodies often repeatedly slashed with knifes or sword. Then thrown into the river that they would not ‘contaminate Aceh soil’.” ; Di Surakarta Tangan dan kaki korban diikat direl kereta api dan dibiarkan sampai kereta api melindas  hancur tubuh2 itu.(http://www.timrelawan.org) ; Kaki/badan korban  diikat kepohon, dan kepala/leher diikat dengan kawat waja dan ditarik dengan mobil/truk, hingga kepala tercabut dari badan/leher .  (Film documenter ABC-TV Australia - Riding the Tiger part3); Korban disembelih, ditusuk dengan pisau panjang ditengah ramai atau ditembak dan ditolak kedalam lubang yang mareka buat karena perintah atau dikubur hidup-hidup. Di Pasuruan, bahkan yang melakukan pemenggalan adalah seorang wanita.  (lihat film documenter: Shadow plays dan film  Riding the Tiger ); Para korban dibunuh dengan sadis dan diklelerkan saja dipinggir jalan,dibawah pohon, dan dilempar kesungai seperti bangkai anjing ( ucapan Sukarno tgl 18  Desember 1965- didepan HMI di Bogor- http://www.tokohindonesia.com);  Di Bali para tahanan diambil dan dibunuh ada yang ditembak, belum mati lantas dibuang ke lubang dan ditimbun, bahkan ada yang tubuhnya dicincang dan dipotong-potong, leher, kaki dan tangan dicerai-beraikan;  Di Sumbar, korban (gadis SMP) dimaukkan ke dalam karung hidup-hidup dan dilempar kesungai, dibiarkan menggelepar dan mati dalam karung; lain korban diikat kepala dan kaki didua buah pedati dan ditarik berlawanan arah hingga tubuh korban berkecai; korban dimuat kedalam dump truk dan dituangkan kejurang terjal yang dalam hingga semua mati; Mengikat korban dan memaku telinganya tembus dari kiri ke kanan dengan paku besar panjang lebih dari 6 inci yang biasa digunakan sebagai paku untuk bantalan rel kereta api, sehingga si korban melolong-lolong dan mati bersiram darah!; Mengikat dan mengampak putus leher si korban di depan anak dan istrinya, sehingga mereka basah bersiram darah ayah atau suaminya yang dengan kejam dihabisi nyawanya, seperti yang terjadi atas Ketua SBPP di Kupang, Nusa Tenggara Barat;  Bahkan korban yang menjadi tapol yang tidak sedikit jumlahnya, diambil malam ( istilahnya di “bon”), dibunuh dan tidak  diketahui dimana dikuburkan.
Tentang pembunuhan massal ini Harsutejo menulis:  Prof Teuku Jacob mendaftar ulah kekejaman manusia dengan kata-kata lugas yang cukup mencengangkan. Penyiksaan dan penganiayaan tahanan dan tawanan menunjukkan kebengisan yang tak terbayangkan, mulai dari mencambuk, mencabut kuku, menjepit ibu jari, melilit tubuh, membakar bagian badan, menyiram cairan panas, menjepit daging dengan jepitan membara, memotong urat, membuang, memperbudak, memenggal kepala, menggantung, melempar dari tempat tinggi, mencekik, membenamkan, mengubur hidup-hidup, mencincang, sampai membunuh atau memperkosa anggota keluarganya di depan mata, menjemur, tidak memberi makan, menyeret dengan kuda, membakar dalam unggun api, dan sebagainya... sebagian besar dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri.
 Begitu sulit dipercaya bahwa ulah kekejaman semacam itu dilakukan juga oleh rezim militer Orde Baru terhadap musuh politik mereka atas nama suatu gagasan yang begitu tinggi dan mulia, yakni Pancasila! Malahan rezim ini masih menggenapi khasanah penyiksaan dan pembunuhan dengan penemuan baru mereka: memasukkan tahanan politik hidup-hidup ke dalam luweng atau sumur alam yang amat dalam, memasukkan ke dalam kapal bobrok dan menenggelamkannya, meneggelamkan hidup-hidup tahanan dengan beban besi atau batu, menyiram gua dan ruba tempat persembunyian dengan bensin dan membakarnya serta melemparkan alat peledak, menyetrom kemaluan laki perempuan ketika mereka dipaksa bersetubuh, menancapkan bambu runcing ke dalam vagina, dan tindakan keji lain yang sulit diterima akal sehat dan akal normal dan sulit dipercaya oleh masyarakat beradab. Dan hebatnya rezim ini berusaha keras untuk menghapusnya dari memori orang banyak dengan segala macam cara termasuk memalsu sejarah dan menggantinya dengan memori rekayasa
Robert J Martens, seorang agen CIA dengan jabatan Perwira Politik pada Kedubes Amerika di Jakarta telah berhasil menyusun dan mempersiapkan daftar terpilih terdiri atas 5.000 orang kader PKI dari tingkat pusat sampai pedesaan beserta organisasi massanya dengan rincian jabatannya. Daftar itu dibuat selama dua tahun (1963-1965) dengan bantuan para pegawai CIA sebagaimana yang dibenarkan oleh Joseph Lazarsky, Deputi Kepala CIA di Jakarta. Selanjutnya diadakan kesepakatan dengan perwira intelijen Kostrad Ali Murtopo, secara berkala yang bersangkutan melaporkan siapa-siapa dari daftar itu telah ditangkap dan siapa-siapa telah dibunuh. Kostrad menjadi pusat pemantauan terhadap laporan pihak militer dari seluruh penjuru tentang penangkapan dan pembunuhan terhadap kaum komunis dan golongan kiri lain. Demikian tulis Cathy Kadane dalam San Fransisco Exeminer, 20 Mei 1990.
Penghancuran terhadap PKI dan seluruh gerakan kiri pertama-tama adalah membasmi secara fisik para anggota dan pendukungnya. Basmi sampai akar-akarnya, itulah yang terus-menerus diserukan baik oleh Jenderal Suharto maupun Jenderal Nasution serta para pengikutnya. Kekuasaan, dan segalanya ada di bawah laras senapan. 
Dari Wikipedia kita baca: “Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. (Wikipedia)
TEAM pencari fakta yang dibentuk oleh Bung Karno mencatat laporan resmi para penguasa, antara 80.000—100.000 jiwa telah menjadi korban di Jawa dan Bali. Tetapi di balik itu, para penguasa sendiri menduga korbannya 10 kali lebih besar dari yang mereka laporkan.
Dr. Robert Cribb, dosen sejarah pada Universitas Nasional Australia di Melbourne, memperkirakan jumlah korban berkisar antara 78.000 hingga 2 juta jiwa.
John Hughes dalam bukunya “Indonesian Upheaval” (1967), memprediksikan antara 60.000 hingga 400.000 orang.
Donald Hindley, dalam tulisannya, “Political Power and the October Coup in Indonesia” (1967), memperkirakan sekira setengah juta orang.
Prof. Guy Pauker, agen CIA yang sangat dikenal dan tidak asing lagi di Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat), dalam tulisannya “Toward New Order in Indonesia” memperkirakan 200.000 orang yang dibunuh.
Yahya Muhaimin dalam bukunya Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945—1966, memprediksikan sekira 100.000 orang.
Ulf Sundhaussen, dalam bukunya The Road to Power: Indonesian Military Politic 1945—1967 (1982), khusus untuk Jawa Barat, tanpa menyebut angka, mengatakan bahwa dari seluruh anggota komunis yang dibunuh di Jawa barat, bisa jadi hampir seluruhnya dibantai di Subang.
Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, Komandan RPKAD, pembunuh berdarah dingin yang melakukan pembersihan di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, kepada Panitia Pencari Fakta, mengaku “telah membunuh 3 juta komunis”.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan dan bekas tapol dari Pulau Buru, dalam ucapannya sebelum meninggal dunia, yang direkam dalam film dokumen “Shadow Play” mengatakan: “Sampai sekarang tidak jelas berapa jumlahnya yang dibunuh. Soedomo [Kopkamtib] mengatakan 2 juta yang dibunuh, Sarwo Edhie [RPKAD] mengatakan 3 juta yang dibunuh. Yang jelas tidak ada yang tahu sampai sekarang.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama, ketika masih menjadi senator, dalam satu tulisannya mengatakan: “In 1965, under the leadership of General Suharto, the military moved against Sukarno, and under emergency powers began a between 500.000 and one million people were slaughtered during the purge, with 750.000 others imprisoned or forced to exile.
Sedang Bertrand Russel, pemikir besar liberalisme, menyebut pembunuhan massal ini sebagai hal yang amat mengerikan yang mustahil bisa dilakukan oleh manusia. (Perang Urat SyarafKompas, 9 Februari 2001). “Dalam empat bulan, manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah korban perang Vietnam selama 12 tahun. (In four months, five times as many people died in Indonesia as in Vietnam in twelve years.)
And, last but not least, Hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta, yang lebih dikenal sebagai Komisi Lima yang dipimpin oleh menteri dalam negeri saat itu, Mayjen. Dr.Soemarno, dengan anggota-anggota: Moejoko (Polri), Oei Tjoe Tat, S.H., Mayjen. Achmadi (eks. Brigade.XVII/TP), dan seorang lagi tokoh Islam, menyebut bahwa jumlah korban pembunuhan yang dilakukan atas perintah Soeharto sekitar 500.000 orang. Bahkan menurut pengakuan mendiang Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Panglima RPKAD, kepada Permadi, S.H., jumlah yang dibunuh mencapai sekitar 3.000.000 orang. “Itu yang ia suruh bunuh dan ia bunuh sendiri,” kata sumber itu.
Dengan begitu banyaknya jumlah manusia Indonesia yang dibantai oleh Angkatan Darat atas arahan, perintah ataupun persetujuan Suharto waktu itu, apakah kita mesti lupakan? Berapa puluh juta sanak saudara, “udek-udek gantung siwur dan canggah wareng” dari korban yang yang dibantai AD itu? Mestikah kita lupakan mereka itu begitu saja dan menganggap bahwa membicarakan nasib mereka sebagai “tidak produktif”?. Akankah kita kubur sejarah hitam itu ke lautan dalam, sehingga generasi bangsa selanjutnya mudah ditipu dan diperbodoh dengan sejarah rekayasa dan tipuan licik?  Hersri Setiawan, seorang mantan tapol Pulau Buru dalam satu tulisannya mengatakan“…..rezim Orba memutlakkan versi sejarahnya tentang Peristiwa ’65, dengan cara menggelapkan dan membelokkan fakta. Generasi pasca-65 dipaksa menelan mentah-mentah tanpa tanya!” Itu sebabnya, tidak heran banyak diantara generasi muda kendatipun sudah menjadi sarjana sejarah Indonesia namun pikirannya sudah tercuci dan terkontaminasi dan tetap mengikut serta menganut sejarah rekayasa Suharto dan kliknya yang dimutlakkan, sehingga tanpa mendalami lebih jauh, menjadi sesumbar dan berteriak “…..Pembunuhan, penyiksaan, dan pembuangan di Pulau Buru dan Plantungan akibat kekliruan keputusan politik pimpinan PKI yang menyebabkan jatuhnya ribuan korban…….Kami sudah kenyang dengan penderitaan akibat partai bapak saya yang tidak bertanggungjawab”. Tidak heran, orang yang demikian bisa gampang mendapat title sarjana dalam “arena pendidikan orba”, sebab kalau Orba mengetahui, menurut Peraturan Mendagri Amir Mahmud No. 32/1981, jangan harap anak-anak PKI yang masih membela “partai bapaknya” akan bisa menjadi sarjana. Satu-satunya jalan untuk tidak mungkin diketahui, adalah mengutuk PKI, mengutuk partai bapaknya! Dengan kata lain, membebek dan menerima bulat-bulat apa yang dijejalkan orba/Suharto bahwa PKI itu salah, keliru dan menjadi pemberontak dan harus dimusnahkan. Meminjam kata-kata Hersri Setiawan: “Generasi pasca-65 dipaksa menelan mentah-mentah tanpa tanya!”.  32 tahun-sepertiga abad- Suharto ditampuk kekuasaan, bukanlah sebentar. Semuanya bisa dirobah dalam masa yang begitu lama!
Jika anda barangkali adalah seorang Kristen dan membaca Alkitab, maka tepatlah ucapan sang Putra, Yesus Kristus, yang diutus Allah ke bumi bahwa “tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan, karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain……..”(Matius 6:24 Akitab Katolik). Jadi tidak mungkin sekaligus bisa membela PKI dan membela Suharto yang anti PKI.
Kalau kita mau membaca, Prof. John Roosa, yang secara pandai sekali merekonstruksi peristiwa dengan mewawancarai tokoh-tokoh Peristiwa 1965 yang terkenal, dalam bukunya “Dalih Pembunuhan Massal”, beliau menulis: “Sekalipun arus propaganda terus membanjir selama tiga puluh tahun lebih, tentara Suharto tidak pernah membuktikan bahwa PKI telah mendalangi G-30-S” (John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, halaman 95, alinea 2). “Pada akhirnya, satu-satunya bukti bahwa PKI memimpin G-30-S adalah karena Angkatan Darat menyatakan demikian” (John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, halaman 99, alinea 2).
Gus Dur pernah mengatakan:  "Kalau bangsa ini ingin berhasil di masa depan, harus jujur dengan masa lampau". Pertanyaan kita: Apakah pemimpin-pemimpin Indonesia yang duduk di pemerintahan sekarang ini jujur dengan masa lampau? Harus kita ingat, Peristiwa Pelanggaran HAM Terbesar 1965 tidak pernah bakal dilupakan. Sejarah 1965 tak mungkin dihapuskan! 
Siapa sajapun yang menjadi Presiden RI, selama kasus tragedi 1965 tidak diselesaikan tuntas secara hukum, selama itu akan menghantui Pemerintahan Indonesia!
Para pembaca yang budiman, untuk mendapatkan data yang lebih jelas, silahkanlah anda mendapatkan dan membaca buku/tulisan dan riset  dari tokoh-tokoh sejarah seperti Dr. Asvi, Prof. Anderson, Drs. Harsutejo, Prof. Wertheim, Prof. John Roosa dan banyak lainnya lagi. Namun, jangan lupa juga membaca buku Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia (MASHI) terbitan Ultimus Bandung, 2010, yang diberi kata pengantar oleh Prof. Jakob Sumardjo, Bandung. Dari buku ini. anda, di samping bisa melihat dan mengulang serta mengingat kembali Peristiwa 1965 yang mengerikan dan menelan jutaan korban, anda juga akan menemukan lebih kurang 1500 nama-nama korban pembunuhan yang dilakukan oleh aparat orba di kota-kota di propinsi Jateng, Jatim, Bali, Sumbar, Riau  dll. serta nama-nama kaum wanita yang diperkosa ramai-ramai kemudian dibunuh di Sumatra, periode 1965/1966, yang tercantum sebagai lampiran buku tersebut, karena manatahu sanak saudara atau kenalan anda yang hilang semasa menjadi tapol orba, namanya mungkin tercantum dalam buku itu.
Kemudian, marilah kita merenungkan, mengheningkan cipta untuk  jutaan korban yang dibantai oleh rezim Suharto dalam Peristiwa 1965, yang jasad dan tulang belulangnya berserakan tanpa nisan di seluruh persada tanah air tercinta.  (bahan dari berbagai sumber)


‘Kan kukenang selalu,
‘kan kuingat selalu,
tubuh, darah dan nyawa
dan segenap pengorbananmu!


YTTaher.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MARHAENISME

· Marhaen

Orang yang menderita lahir batin akibat kapitalisme , kolonialisme/ imperialism ,feodalisme atau system lainya yang menindas dan mengungkung

· Marhaenis

Orang yang berjuang untuk kaum marhaen dalam membebaskan diri dari semua sistim yang mengungkung dan menindas dan mewujudkan masyarakat marhaenis yang tidak saling menindas

MARHAENISME

Ajaran bung Karno secara keseluruhan

v Bung karno dengan pisau analisa historis materialism menganalisa kondisi masyarakat Indonesia sebagai komunitas social ,hidup disuatu wilayah geo politik hindia belanda dan tidak dapat mengaktualisasikan tuntutan budi nuraninya (Social Consience Of Man )

Karena Apa ……?

Tertindas oleh system yang menindasnya , kolonialisme / imperialism ,anak kapitalisme dan feodalisme bangsa sendiri

BK (Bung karno) mencetuskan ideology disebut marhaenisme dengan asas

- Sosio Nasionalisme

- Sosio Demokrasi

- Sosio KeTuhanan YME