Sabtu, 28 Januari 2012

Peristiwa G30S, Apa dan Bagaimana? (1)

                                            
            (Penggalian dan analisa pribadi-bagian 1)

               Oleh  :  Y.T. Taher, mantan Tapol, sekarang tinggal di Australia

Pendahuluan:                                   
Setiap memasuki dan berada dalam  bulan September,  tidak sedikit orang, yang ingatannya  kembali kepada catatan sejarah tanah air 46 tahun-hampir setengah abad- yang lalu, tentang kekejaman,  kebrutalan, pembunuhan atau genosida atas jutaan bangsa Indonesia yang dilakukan oleh kaum militer Angkatan Darat dengan mempergunakan tangan-tangan sebagian bangsa Indonesia yang tergabung dalam milisia dan organisasi komando aksi massa kanan dan agama. Penganiayaan, penangkapan, perkosaan dan pembunuhan di mana-mana, seolah-olah bangsa ini telah kembali kepada zaman jahiliah tanpa mengingat harga dan nilai nyawa manusia. Jutaan dibunuh, dan hampir 2 juta ditahan serta sekitar 20 juta keluarga hidup teraniaya dan dikucilkan, dianggap tidak bersih, sepertinya tiada hak untuk hidup sebagai bangsa dalam suatu negara yang merdeka yang penduduknya mayoritas menganut agama. Perempuan dan gadis-gadis diperkosa ramai-ramai oleh 6 atau 7 orang pemuda anggota komandao aksi, kemudian dibunuh dan mayatnya diklelerkan atau dibuang begitu saja, tanpa penguburan. Sungai-sungai dipenuhi dengan tubuh-tubuh tak bernyawa yang merapung, di rawa-rawa dan selokan bertumpuk mayat-mayat yang kadang-kadang tak berkepala yang dilemparkan setelah dibunuh dengan kejam. Dimana-mana, di seluruh pojok tanah air, terkubur jasad rakyat tanpa nisan, yang di bunuh tanpa  hykum dan peradilan. Rakyat menjadi takut dan gentar dengan kekejaman dan terror yang dilakukan atau direstui serta dilindungi oleh Angkatan Darat di bawah pimpinan Jenderal Suharto.


Aksi Penangkapan dan pembunuhan 6 jenderal oleh gerakan militer yang menamakan dirinya Gerakan 30 September-G30S- yang berlangsung pada dinihari 1 Oktober 1965, menjadi dasar dan alasan buat Letjen Suharto dan para grupnya melaksanakan pembunuhan massal atau genosida atas jutaan bangsa Indonesia. Dengan dalih membasmi G30S, yang oleh pihak militer direka identik dengan PKI dan diperkenalkannya dengan nama G30S/PKI, dilangsungkanlah perburuan dan pembunuhan massal atau genosida yang terbesar setelah Perang Dunia ke-2.  Bertrand Russel, pemikir besar Liberalisme, menyebut pembunuhan massal ini sebagai hal yang amat mengerikan yang mustahil bisa dilakukan oleh [mahluk yang bernama-pen] manusia. (Perang Urat Syaraf…Kompas 9 Pebruari 2001) “Dalam empat  bulan, manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah korban perang Vietnam selama 12 tahun” (“In four months, five times as many people died in Indonesia as in Vietnam in twelve years”
Lebih gamblang lagi adalah Pengakuan Letjen Sarwo Edhi Wibowo, Komandan RPKAD di depan Team Pencari Fakta, yang dengan bangga mengaku telah membunuh 3 juta orang komunis!


Akan tetapi, kendatipun begitu banyak korban pembunuhan massal/genosida yang dilakukan oleh Angkatan Darat pada tahun 1965/66 itu, masih ada saja tokoh-tokoh dan para mantan jenderal militer yang mengatakan bahwa “tidak ada Jenderal yang membunuh rakyatnya”( Jenderal Sutiyoso-myRMnews, 24 April 208), “tidak ada genosida di Indonesia. Genosida itu seperti yang terjadi di Jerman, Rwanda………..” (Jenderal Wiranto-myRMnews 24/4/08). Bahkan Mantan Wakil Presiden R.I. yang pernah menjadi tokoh KAMI Bagian Indonesia Timur di Makasar pernah mengatakan “peristiwa itu kan sudah lama……perlu apa dibicarakan”.(dari sebuat tulisan Ibrahim Isa). Dan ucapan tokoh pimpinan KAMI itu disambut dan digendangi oleh SBY, Presiden R.I. sendiri dengan ucapannya bahwa “membicarakan G30S sebagai tidak produktif……………….”  (RMMinggu, 01 Oktober 2006, 06:33:55 WIB)


Sehingga benarlah apa yang ditulis oleh H A. Mustofa Bisri, pengasuh pesantren Rodlatut Thalibin, Rembang,  bahwa Suharto, ”Jenderal terkuat yang saat berkuasa mampu menyihir banyak orang pintarmenjadi bebek-bebek, meneluh wakil-wakil rakyat menjadi gagu, dan membuat pers tiarap sekian lama”. Bahkan, setelah Suharto matipun, para pengikut dan kroninya yang tak ubahnya seperti kambing-kambing congek yang sekarang masih banyak menduduki kursi-kursi empuk di pemerintahan, terbukti tetap berkaok-kaok membela sang majikan tercinta dan menutupi segala kejahatan dan kebrutalan rezimnya dari pengetahuan Rakyat, bahkan ingin mengangkat si pembunuh zalim menjadi pahlawan.


Padahal. Presiden A.S., Barack Obama sendiri dalam satu tulisannya mengatakan: “………the CIA began providing covert support to various insurgencies inside Indonesia, and cultivated close links with Indonesia's military officers, many of whom had been trained in the United States. In 1965, under the leadership of General Suharto, the military moved against Sukarno, and under emergency powers began a massive purge of communists and their symphathizers. According to estimates, between 500.000 and one million people were slaughtered during the purge, with 750.000 others imprisoned or forced to exile”.


(Barack Obama – THE AUDICITY OF HOPE. Thoughts on Reclaiming The American Dream, First published (2006) in New York, the U.S. by The Crown Publishers; Chapter 8, The World Beyond Our Borders, page 272-273. Paperback edition, by Canongates Book, 2008/Ibrahim Isa -08 November 2010)
Memang tepat seperti apa yang pernah ditulis oleh Ibrahim Isa: “Ada yang tidak mau tahu tentang kasus 65 itu, karena dirinya atau golongannya sendiri, memang terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan ketika itu. Sebagian orang juga bersikap acuh tak acuh, karena bagaimanapun adalah berkat Orba, yang kayak apapun kejahatannya ketika itu, toh telah memberikan kesempatan dan peluang sehingga mareka menjadi pejabat penting ataupun orang kaya sekarang ini. Jadi mareka-mareka itu bagaimanapun merasa telah “berhutang budi” pada Suharto, pada rezim Orba.  Dan ada pepatah kita yang mengatakan “hutang budi dibawa mati”


Sebelum pemilihan presiden putaran terakhir pada 2004,  Ilham Aidit,  putra DN Aidit, Pemimpin PKI                                              dalam mengikuti silaturahmi yang digagas oleh dai kondang Aa Gym, bertemu dengan calon presiden Susilo "SBY" Bambang Yudhoyono. Dalam pertemuan di mana mereka duduk bersama dan berdampingan itu, setelah berbincang-bincang, dengan tangannya yang besar dan kekar SBY memegang paha kiri Ilham dan berkata “kita harus menyelesaikan masa lalu, namun dengan cara yang arif." Setelah SBY terpilih menjadi Presiden, rakyat berharap semoga apa yang pernah diucapkannya itu akan menjadi kenyataan, yaitu “menyelesaikan masa lalu”. Akan tetapi, ya, akan tetapi, setelah beliau menjadi Presiden, jangankan “menyelesaikan masa lalu dengan cara yang arif” malahan beliau mengatakan bahwa “membicarakan G30S sebagai tidak produktif……………….”  Apakah maksud dan pikiran beliau “menyelesaikan masa lalu” itu berarti menutup habis dan melupakan begitu saja jutaan korban tanpa salah yang dibantai oleh Angkatan Darat? Apakah begitu?
Rupanya begitulah pikiran-pikiran dan ucapan-ucapan “tokoh-tokoh” hipokrit yang coba mengelabui rakyat dengan kepandaian  bermain lidah dan berusaha menutup dan melupakan sejarah. Dengan menelanjangi tubuh-tubuhnya sendiri mereka berlindung di balik lalang sehelai dan mengengkari ucapan Pemimpin Besar Bangsa Indonesia: “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!”.


Kendatipun generasi muda Indonesia yang lahir setelah 1965 tidak mengalami langsung Peristiwa  yang meninggalkan trauma bangsa sampai sekarang, Peristiwa yang merobah jalannya Sejarah dan Revolusi Indonesia, Peristiwa yang menghancur luluhkan susunan dan tata kehidupan bangsa, kaum muda tidak tinggal diam dan senantiasa belajar dan mencari kebenaran sejarah atas Peritiwa 1965 yang menelan jutaan korban. Namun, tidak sedikit juga yang menganggap dan berpendapat bahwa segala apa yang disampaikan dan ditulis oleh ahli-ahli pengikut Suharto dan Ordebaru, sebagai suatu kebenaran, tanpa mau melakukan penyelidikan. Mata dan hati mereka dibutakan oleh kenyataan bahwa semenjak Peristiwa 1965, semenjak kudeta Suharto sampai hari ini, keadaan negeri tercinta bukannya bertambah baik malahan sebaliknya. Tanah, air dan udara bumi tercinta telah tergadai dan terjual, dan rakyat tidak punya apa-apa!
Banyak buku dan hasil riset telah ditulis dan dicetak juga berbagai milis dalam internet mengenai Peristiwa 1965 itu.  Namun, umumnya buku dan tulisan itu jarang atau hampir tidak ada sama sekali mengungkapkan tentang pembunuhan massal atau genosida yang terjadi, yang dilakukan oleh Jenderal Angkatan Darat dan kaum milisia dan golongan agama. Kalaupun ada, hanya menggambarkan bahwa pembantaian atau genosida itu disebabkan kesalahan orang atau rakyat yang yang dibantai itu sendiri, karena menjadi golongan kiri atau PKI, yang mereka identikkan sebagai terlibat G30S, langsung maupun tidak langsung. Sedang mereka yang dibantai, tidak tahu sebab dan mengapa mereka dibantai dan dibunuh! Para ahli dan cerdik pandai bisu membungkam, menjadi kambing-kambing congek yang mengabdi kepentingan para Jenderal Angkatan Darat dan rezim Suharto dan penerusnya.


Banyak korban Peristiwa 65 yang kini telah menua dan sakit-sakitan akibat kezaliman rezim Orba, dan yang kini hanya menunggu saat napas terakhir keluar dari hidungnya, namun mereka tidak mau tinggal diam dan berhenti menjadi saksi dalam mengungkap Peristiwa 65 yang menelan sangat banyak korban itu. Kendatipun mereka mesti menulis sambil tidur karena memang jompo lemah jasmani, mereka tetap berusaha menjelaskan kebenaran sejarah yang selama ini diputar belokkan oleh rezim orba Suharto serta penerusnya.


Untuk mengetahui apa dan bagaimana Peristiwa 1965 yang mengerikan, yang menelan jutaan nyawa bangsa Indonesia yang tak berdosa, yang membuat trauma yang tak terobati sampai sekarang, marilah sedikit kita telusuri, kita pelajari, apa dan bagaimana  dan kita renungkan sebagai suatu sejarah hitam bangsa Indonesia, demi perjuangan bangsa untuk mengarahkan kembali Revolusi 1945 ajaran Bung Karno, yang semenjak 1 Oktober 1965 diputar belokkan oleh penguasa kudeta yaitu Jenderal Ordebaru Suharto.
Semoga tulisan dan analisa pribadi ini ada gunanya!

G30S
Dinihari, Jumat 1 Oktober 1965, kiranya merupakan pagi yang kelabu bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Di subuh pagi itu, sekelompok perwira muda Angkatan Darat, melalui suatu gerakan yang mereka beri nama Gerakan 30 September, dibawah pimpinan Letkol. Untung Samsuri, Komandan Yon I Cakrabirawa, Pasukan Pengawal Presiden; Kolonel A. Latief, Komandan Brigade Infantri 1 Kodam V Jaya  dan Brigjen Supardjo menggunakan militer bawahannya, bertindak melakukan penculikan dan penangkapan terhadap para perwira tinggi Angkatan Darat yang diduga tergabung dalam organisasi “dewan jenderal” dan bakal  melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Penangkapan dan penculikan yang katanya bertujuan untuk membawa dan menghadapkan para jenderal Angkatan Darat itu kepada Presiden Sukarno, ternyata berakir dengan pembunuhan yang mengenaskan, yang jenazahnya dibuang di sumur tua yang disebut Lubang Buaya, di daerah Kebun Karet Pondok Gede Jakarta.


Enam Jenderal dan seorang Perwira menengah menjadi korban di malam dan pagi naas itu. Mereka adalah: Jenderal Ahmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat; Mayjen. Suprapto, Asisten II Men/Pangad; Mayjen. Haryono M. T., Asisten III Men/Pangad; Mayjen. S. Parman, Asisten I Men/Pangad; Brigjen. D.I. Panjaitan, Asisten IV Men/Pangad; Brigjen. Sutoyo Siswomiharjo, Oditur Jenderal Angkatan Darat.
Jenderal Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Bersenjata RI, berhasil lolos, namun ajudannya, Letnan P. Tendean, dan anak Jenderal A.H.Nasution, Ade Irma Suryani, menjadi korban.


Sebelum orang tahu apa yang terjadi, Yoga Sugama yang tahun 50-an pernah dikirim oleh KSAD Zulkifli Lubis mengikuti pendidikan Intel pada MI-6 Inggris, pada pagi hari 1 Oktober 65 itu, mengaku lebih dahulu sampai di Kostrad. Sebagai Asisten I Kostrad/Intelijen, mendengar kejadian pagi subuh 1 Oktober itu, serta merta Yoga Sugama menyatakan bahwa hal itu pasti perbuatan PKI. Ketika pengumuman RRI Jakarta pada jam 07.00 pagi, menyampaikan tentang Gerakan 30 September di bawah Letkol Untung, maka Yoga Sugama-pun memerintahkan, “Siapkan semua penjagaan, senjata, bongkar gudang. Ini PKI berontak.” Yoga Sugama mengucapkan “kesimpulannya” itu, karena Untung pernah menjadi anak buahnya dalam RTP II Bukttinggi waktu bertugas menumpas PRRI di Sumatra Barat dan dianggapnya sebagai kiri. Begitu juga Ali Murtopo yang pernah training di CIA, dengan gembira menyokong ucapan Yoga Sugama itu. Beberapa jam setelah para jenderal diculik dan dibunuh, kelompok bayangan Soeharto ini, Yoga dan Ali, langsung mengumumkan rekayasa dengan mengatakan "G30S didalangi PKI". Lantas Soeharto memerintahkan: "Basmi dulu partai itu (PKI), bukti-bukti cari kemudian".   Dan tanpa selidik dan tanpa pemeriksaan terlebih dahulu, kontan saja di belakang kata G30S diberi embel-embel PKI, menjadi G30S/PKI. Lebih jelek lagi, Kolonel Haji Sugandhi, Pemimpin Redaksi Harian Angkatan Bersenjata menciptakan suatu sebutan baru, tanpa mengikuti kaedah dan peraturan Bahasa Indonesia, merobah “Gerakan 30 September” menjadi “Gerakan September Tiga Puluh” yang disingkatnya menjadi Gestapu, guna memberikan gambaran kekejaman seperti Gestapo Nazi Jerman dalam Perang Dunia Kedua. Berkat Angkatan Darat, jadilah dan disebutlah G30S sebagai Gestapu/PKI.


Jenderal Suharto yang ketika itu adalah Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), yang datang kemudian, dalam kesempatan itu, dengan licik bertanya kepada Yoga Sugama, “Apa kira-kira Presiden Soekarno terlibat dalam gerakan ini?” Tanpa selidik dan tanpa pemeriksaan, Yoga Sugama yang Ass. I Kostrad/Perwira Intelijen langsung menjawab : “Ya”. Jawaban spontan yang tanpa penyelidikan, tanpa bukti dan fakta ini menuduh Presiden/Pangti ABRI Bung Karno sebagai  terlibat dengan gerakan para militer muda itu!. Jawaban Yoga Sugama ini nampak seperti sudah diatur, disutradarai oleh “tiga sekawan” Suharto, Yoga dan Ali Murtopo, agar Yoga Sugama mengatakan begitu. Hal ini sangat membesarkan hati Soeharto, karena sesuai dengan ambisi dan keinginannya seperti apa yang pernah diucapkannya kepada Kolonel A.Latief, dua hari sebelumnya, Jenderal Soeharto MENGHENDAKI Presiden SOEKARNO DIGANTI.


Dengan demikian rencananya untuk menghancurkan kekuatan PKI dan menggulingkan Presiden Soekarno, “sepertinya mendapat dukungan dari bawah.” 
Catatan: Ketika Kol. Latief berkunjung kerumah Suharto membicarakan masalah gerakan. Pengakuan Kol. Latief adalah: “Seperti biasanya, pada tanggal 28 September 1965 sekitar pukul 20,00 (malam hari) saya dan istri berkunjung ke rumah Jenderal Soeharto/Pangkostrad di Jl Agus Salim Jakarta, di saat itu sewaktu berdua dengan saya, Jenderal Soeharto menegaskan pada diri saya bahwa Jenderal Soeharto MENGHENDAKI (kata yang ditekankan kepada diri saya) Presiden SOEKARNO DIGANTI, karena selalu membikin ribut. Saya jawab: 'Tidak mungkin, karena BUNG KARNO didukung rakyat!'; ---- KESAKSIAN TAMBAHAN ATAS PERNYATAAN DAN TUNTUTAN Kol. A. Latief TERTANGGAL 01 JANUARI 2003 Kolom Ibrahim Isa, http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com. (Silahkan Lihat juga Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia/Ultimus 2010, halaman 117)


Presiden Soekarno yang berada di Halim pada pagi hari itu dan mendengar gugurnya para perwira tinggi AD, tidak mau mendukung G30S dan memerintahkan Brigjen Supardjo menghentikan gerakannya, dan Supardjo sebagai militer mematuhi Perintah Presiden/Pangti ABRI ini.
Selanjutnya, Presiden Soekarno, selaku Pangti ABRI, setelah mendengar meninggalnya Jenderal Ahmad Yani, mengeluarkan Perintah Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Indonesia yang menyatakan: “Pimpinan Angkatan Darat RI sementara berada langsung dalam tangan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI. Bahwa untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditugaskan untuk sementara Mayor Jenderal TNI Pranoto Reksosamudro Ass III/Pangad….”Perintah Presiden/Panglima Tertinggi ABRI itu dikeluarkan pada 1 Oktober 1965, dan memerintahkan ajudan beliau Kol. KKO Bambang Widjanarko memanggil Pranoto Reksosamudro dan Umar Wirahadikusuma Pangdam V Jaya untuk menghadap. 
Akan tetapi, pada jam 9.00 pagi hari itu juga, dalam rapat yang berlansung di Markas Kostrad, di bawah pimpinan Letjen Suharto selaku Panglima Kostrad, setelah mengetahui bahwa Letjen A. Yani Menpangad telah terbunuh, Suharto  dengan mengabaikan perintah dan keputusan Presiden/Pangti ABRI, “mengangkat dan menetapkan dirinya” sebagai Panglima Angkatan Darat.


Ketika Ajudan Presiden Kol. KKO Bambang Wijarnako  datang ke Makostrad menyampaikan  Perintah Presiden/Panglima Tertinggi ABRI itu dikeluarkan pada 1 Oktober 1965, meminta Pranoto Reksosamudara dan Umar Wirahadikusuma Pangdam V Jaya untuk menghadap Presiden, disambut oleh Pangkostrad   Jenderal Suharto dengan angkuh dan galak, sambil mengatakan kepada kurir Presiden Soekarno dalam bahasa Belanda: “Jendral Umar blijft hier!”  (Y.Pohan: “Siapa yang melakukan kudeta…” (http://www.munindo.brd.de/archiv/pohan.htm)                                                                                                 
Dengan perilaku Suharto dan kejadian pada pagi hari 1 Oktober itu, maka mulailah gerakan pembangkangan dan pengengkaran perintah Pangti ABRI/Presiden Sukarno oleh Letjen Suharto. Lebih jauh lagi, bahkan lewat kurir pribadi Ajudan Presiden Kol. Bambang Wijarnako tersebut, Suharto memberi “perintah dan petunjuk” kepada Presiden/Pangti ABRI Sukarno, agar segala persoalan yang menyangkut militer harus melalui dirinya, Pangkostrad Letjen Suharto.
Sejalan dengan itu, Suharto dengan sigap-seperti kucing yang telah siap menunggu, segera menerkan, “melumpuhkan” kekuatan G30S yaitu Yon 454/Diponegoro dan Yon 530/Brawijaya dengan menggunakan pasukan RPKAD Yon 328/Kujang Siliwangi, yang semuanya adalah pasukan yang dipanggil dan berada di bawah pimpinan Pangkostrad Jenderal Suharto sendiri.


RRI yang pagi hari digunakan oleh G30S untuk menyiarkan pengumumannya, sore harinya diserahkan kepada Kostrad.  Oleh Pangdam V Jaya Letjen Umar Wirahadikusuma, di Jakarta diumumkan dan diberlakukan “jam malam” dan semua surat kabar media dilarang terbit, kecuali suratkabar militer yaitu Angkatan Bersenjata, Berita Yudha dan Api Pancasila. Waktu jam malam dan pelarangan terbit media massa itu, digunakan oleh pihak militer melalui RRI dan korannya untuk mengkampanyekan keterlibatan PKI dalam G30S. Semua berita fitnah dan rekayasa yang telah dipersiapkan pihak militer disiarkan oleh Koran Angkatan Bersenjata, Berita Yudha dan Api Pancasila. Ternyata, usaha pihak militer yang dikepalai oleh Pangkostrad Letjen Suharto ini berhasil menanamkan “kepercayaan”, simpati dan dukungan kuat masyarakat terhadap gerakan penumpasan yang dipimpin Suharto. G30S yang cuma “berkuasa” beberapa jam di Radio, dapat “dilumpuhkan” oleh pasukan Kostrad/Suharto dengan mudah. Para prajurit yang digunakan sebagai kekuatan G30S, lari ke markas induk yaitu Kostrad minta makan. 

Kendatipun para pentolan dan penggerak G30S seperti Untung, Latief dan Supardjo dll. dapat segera ditangkap dan ditahan, banyak sipil dan militer yang langsung “diselesaikan” tanpa melalui pengadilan dan hukum. Hari-hari selanjutnya bukan hanya merupakan hari yang kelabu, namun merupakan hari-hari yang gelap gulita dan hitam bagi bangsa dan  rakyat Indonesia. karena pembunuhan yang dilakukan seperti atas para jenderal itu, sesungguhnya tidak berhenti hanya sampai disitu, namun berlanjut dengan pembantaian yang dilakukan oleh Angkatan Darat dan milisia/golongan agama serta massa kanan, dengan restu dan langsung maupun tidak langsung perintah pembersihan dari Jenderal Suharto, terhadap golongan dan rakyat yang dituduh “gestapu/pki” dan golongan kiri umumnya. Dengan alasan membasmi dan membersihkan sisa-sisa G30S, dilakukanlah pembunuhan di seluruh pelosok tanah air. Persada tanah air menjadi banjir darah orang-orang yang tak berdosa, besar kecil, tua muda, lelaki maupun perempuan, dibantai tanpa hukum dan pemeriksaan! Manusia Indonesia hidup dalam ketakutan dan saling curiga mencurigai. Pembunuhan terhadap golongan kiri di mana-mana. Sungai-sungai penuh dengan mayat-mayat tak berkepala, jalan-jalan dan rawa-rawa serta jurang dipenuhi tubuh-tubuh tanpa nyawa, kepala-kepala yang dipenggal oleh manusia-manusia yang mengaku bertuhan dan berperikemanusiaan, dipacakkan di simpang-simpang atau tepi jalan menjadi tontonan dan hiburan manusia-manusia haus darah. “Dalam empat bulan, manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah korban perang Vietnam selama 12 tahun.”(Perang Urat SyarafKompas, 9 Februari 2001). Dan Bertrand Russel, pemikir besar liberalisme, menyebut pembunuhan massal ini sebagai hal yang amat mengerikan yang mustahil bisa dilakukan oleh [mahkluk yang bernama] manusia. Sementara itu dalam Komisi Pencari Fakta yang dibentuk oleh Pemerintah, Letjen Sarwo Edhi Wibowo, Komandan RPKAD, dengan bangga mengakui telah membunuh 3 juta orang komunis. Suatu prestasi yang sangat membesarkan hati Imperialis Amerika!

.

“Ketangkasan” Mayjen Soeharto dalam meredam aksi G30S memancing kecurigaan Ratna Sari Dewi Soekarno, istri ketiga Bung Karno yang berasal dari Jepang. Katanya: “Sepertinya Soeharto sudah tahu semua, seakan telah direncanakan….Bagaimana dia bisa memecahkan masalah yang terjadi pada malam 30 September dan segera bertindak. Begitu cepat. Kalau belum tahu rencana G30S, ia tak mungkin bisa melakukannya”
Bahkan Mike Head yang menulis dalam Sydney Morning Herald, 19 July 1999, mengatakan: “The speed with which Soeharto moved on October 1 support the conclusion that, acting in concert with the US agencies, he engineered the whole operation to eliminate his rivals and provide a pretext for moving against Soekarno and the PKI”.
Benarkah dugaan dan kecurigaan Ratna Sari Dewi dan tulisan Mike Head, wartawan Sydney Morning Herald Australia itu? Lebih daripada itu, benarkah Gestok itu adalah “Gerakan Suharto 1 Oktober”?


Pembangkangan dan “gerakan” Suharto melawan atasannya yaitu  Presiden RI/Pangti ABRI, dengan menggunakan kilknya dalam Kostrad dan Angkatan Darat (Suharto-Yoga Sugama dan Ali Murtopo) yang dimulainya pada pagi hari 1 Oktober itu, oleh Bung Karno disebut “Gerakan 1 Oktober” atau disingkat Gestok. Dalam satu kesempatan Bung Karno mengatakan bahwa “Gestok adalah lawannya G30S”.
Namun, Dr. Asvi Warman Adam mengatakan, “Kita tahu, gerakan ini menyebut diri sebagai Gerakan Tiga Puluh September. Karena itu, lebih objektif bila peristiwa itu disebut sebagai G30S, bukan Gestapu dan bukan pula Gestok.” (Kompas, Senin, 30 September 2002). Apa yang dikatakan Dr. Asvi memang benar. G30S adalah Gerakan Tigapuluh September. Akan tetapi, aksi penculikan dan pembunuhan oleh G30S itu dilakukan pada subuh hari 1 Oktober, sehingga ketika Bung Karno menyebut “Gestok”, Gerakan Satu Oktober,  maka asosiasi rakyat adalah bahwa G30S itu disebut juga sebagai Gestok. Akan tetapi, mungkin bukan itu yang dimaksud oleh Bung Karno, karena beliau mengatakan Gestok adalah lawannya G30S”.  Jadi, ini berarti ada 2 gerakan. Gerakan 30 September dan Gerakan Satu Oktober, yang kedua-duanya sama-sama mulai beraksi pada hari 1 Oktober itu.


Seandainya kita tidak mau menggunakan nama “gestok” untuk “Gerakan Suharto 1 Oktober” yang melawan Pangti ABRI, (Selama 32 tahun Suharto berkuasa, tidak pernah terdengar sebutan Gestok),  maka apakah tidak mungkin bahwa gerakan Suharto 1 Oktober itu adalah sebenarnya penerusan atau kelanjutan dari G30S. Karena kita bisa melihat dan mempelajari bahwa tokoh-tokoh G30S seperti Untung, Latief, dan Supardjo sangat erat hubungannya dengan Suharto. Kemudian, Gerakan Suharto 1 Oktober, sangat erat hubungannya dengan Yoga Sugama dan Ali Murtopo yang adalah klik dan  bawahannya Suharto. Dengan kata lain, baik G30S maupun Gestok sama-sama berada di bawah satu komandan yaitu Pangkostrad, Letjen Suharto sendiri! (bersambung)  


Banyak sudah tulisan-tulisan  atau buku yang menceritakan tentang tokoh-tokoh militer dan sipil yang menjadi pentolan G30S seperti Untung, Latief, Suparjo, Syam Kamaruzaaman serta hubungannya dengan Suharto. Karena ruangan ini tidak memungkinkan kita buat menceritakan kembali satu persatu secara menyeluruh maka kita ambil saja point penting yang dirasa perlu, yang kita peroleh dari hasil riset dan tulisan Drs. Harsutejo.

Letkol. Untung Samsuri
Yang saat itu adalah Komandan Yon I Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa, adalah lulusan Akmil yang terbaik, bersama Benny Murdani bertugas dalam perebutan Irian Barat dan merupakan salah satu anak buah Soeharto yang dipercaya. Kendatipun tidak sekelas dengan Suharto, Untung juga tergabung dalam “Kelompok Pathuk” dan bertemu kembali dengan Suharto tahun 1962. Untug  menikah tahun 1964 dengan gadis hasil carian Ibu Tien Suharto, di mana pernikahannya dihadiri oleh Suharto dan istrinya di Kebumen. Dengan demikian, Untuk adalah merupakan anak mantu angkat Suharto.
Letkol. Untung pernah dikirim belajar ke AS. Menurut catatan CIA tertanggal 1 Oktober 1965 dalam “CIA, 2001:300, memorandum untuk Presiden Johnson” bahwa Untung memiliki “military police background and was trained in the United States.” 


Sebelum pelaksanaan G30S, Untung menemui Suharto dan menyampaikan rencananya untuk menangkap dan membawa para jenderal yang diduga akan melakukan kup kehadapan Bung Karno. Dengan antusias, Suharto menjawab: “Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu. Kalau perlu bantuan pasukan akan saya bantu. Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah”
Untuk merealisasinya, Suharto memanggil Batalyon dari Jateng dan Timur dengantelegram No. T.220/9 (15 September 1965) dan mengulanginya dengan radiogram No. T.239/9 tanggal 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya Jawa Timur dan Yon 454 Banteng Raider Diponegoro Jawa Tengah untuk datang ke Jakarta dengan kelengkapan tempur penuh. Ketika Batalyon itu sampai di Jakarta, di terima dan diinspeksi oleh Suharto selaku Pangkostrad. Tanggal 30 September 1965 jam 17.00 Yon 454 diperintahkan ke Lubang Buaya untuk bergabung dengan pasukan lainnya guna melakukan gerakan pada malam harinya.
Pada 1 Oktober 1965, Untung tampil sebagai pemimpin Gerakan 30 September yang menculik para jenderal AD, yang ternyata kemudian dibunuh. Pembunuhan para jenderal ini, dianggap menyimpang dari rencana mereka semula, yang hanya akan menangkap dan menghadapkan para jenderal kepada Presiden.
Setelah G30S meletus dan gagal dalam operasinya, Untung melarikan diri dan menghilang beberapa bulan lamanya sebelum kemudian ia tertangkap, dan ditahan. Setelah melalui sidang mahmilub yang kilat, Untung pun dieksekusi di Cimahi, Jawa Barat pada tahun 1969.  

Kolonel A. Latief
Menurut riset dan tulisan Harsutejo dalam "Sekitar G30S", pada awal tahun-tahun kemerdekaan, A. Latief, yang pada waktu itu berpangkat Kapten, pernah menjadi Komandan Kompi dari Kesatuan dibawah pimpinan Letkol. Soeharto di Yogyakarta Dalam Serangan Umum 1 Maret di Yogya,  Pasukan Kapten Latief yang masuk ke Yogya dari Godean 
Belakangan, Latief menjadi Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya, suatu kedudukan yang strategis. Sebagai Komandan Kostrad pun Soeharto mendekati Kolonel Latief antara lain dengan mendatangi rumahnya ketika Latief mengkhitankan anaknya.
Latief sendiri menyatakan karier kemiliterannya nyaris selalu mengikuti jejak Suharto. Pada gilirannya membuat hubungan Latief dan Suharto bukan lagi sekedar bawahan dan atasan, melainkan sudah sebagai dua sahabat. Suharto tahu Latief tak akan melakukan sesuatu yang dapat merugikan dirinya. Sudah sejak setelah agresi kedua, Latief merasa selalu mendapatkan kepercayaan dari Suharto sebagai komandannya yakni memimpin pasukan pada saat yang sulit. Ketika Trikora pun ia masih dicari bekas komandannya itu, tetapi Latief sedang mengikuti Seskoad. Pada bulan Juni 1965 Mayjen Suharto meminta agar Latief dapat memimpin suatu pasukan di Kalimantan Timur, akan tetapi Umar Wirahadikusuma menolak melepasnya karena tenaganya diperlukan untuk tugas keamanan di Kodam V Jaya. 


Di luar dinas Latief mempunyai hubungan kekeluargsaan yang cukup akrab dengan Suharto dan sering berkunjung ke rumahnya. Ketika Sigit, anak Suharto dikhitan, isteri Latief datang. Sebaliknya ketika Latief mengkhitankan anaknya maka Suharto dan Ibu Tien juga datang ke rumahnya. Bahkan pada 28 September 1965 ketika Latief berkunjung ke rumah Suharto di Jl HA Salim, ia membicarakan soal tukar-menukar rumah dinas. Latief menawarkan rumah dinas baginya di Jl Jambu bekas kedutaan Inggris yang lebih besar untuk ditukar dengan kediaman Suharto yang lebih kecil yang sedang ditempatinya. 

3 minggu sebelum meletusnya G30S, Letkol. Untung  dan Kol. Latief  masing masing sebagai Komandan Batalion 1 Cakrabirawa dan Komandan Brigade Infantri 1 Kodam V Jaya , sudah merundingkan dengan Suharto langkah-langkah yang perlu diambil, sebab Untung dan Latief kedua-duanya bekas anak buah Suharto, dan persahabatan mereka terus berkelanjutan” (http://www.geocities.com/arsip_nasional/politik/politik12.htm) 

: Seperti biasanya, pada tanggal 28 September 1965 sekitar pukul 20,00 (malam hari) saya dan istri berkunjung ke rumah Jenderal Soeharto/Pangkostrad di Jl Agus Salim Jakarta, di saat itu sewaktu berdua dengan saya, Jenderal Soeharto menegaskan pada diri saya bahwa Jenderal Soeharto MENGHENDAKI (kata yang ditekankan kepada diri saya) Presiden SOEKARNO DIGANTI, karena selalu membikin ribut. Saya jawab: 'Tidak mungkin, karena BUNG KARNO didukung rakyat!';(Catatan:  Sayang sekali. Kolonel Latief tidak menaruh perhatian akan ucapan yang merupakan iktikad Soeharto yang “menghendaki” Presiden Soekarno diganti ini, sehingga Latief sebagai prajurit, sebagai bawahan, tetap melanjutkan gerakan yang sudah mereka rencanakan.—Pen.)

Pada tanggal 29 September 1965, antara pukul 09.00 - 10.00 (siang hari) saya menemui Jenderal Soeharto yang di saat itu sedang menunggu putranya yang tersiram sup panas yang sedang dirawat di RSPAD Gatot Soebroto. Pada tanggal 30 September, jam 11.00 malam hari, Kolonel Latief atas persetujuan Untung dan Supardjo.

mengunjungi Jenderal Soeharto di RSPAD Gatot Subroto untuk melaporkan situasi “gerakan” yang bakal dimulai empat jam lagi.

Kolonel Latief ditangkap sepuluh hari setelah kegagalan gerakan, tetapi ia diadili 13 tahun kemudian pada 1978. Sedang vonisnya baru mendapatkan kepastian hukum pada tahun 1982. Latief merupakan saksi kunci yang dapat menggoyahkan kedudukan Jenderal Suharto.
Seperti yang tercantum dalam pembelaannya di depan Mahmilub pada 27 Juni 1978. Letkol Latief tetap menuduh Jenderal Suharto sebagai ikut terlibat dalam G30S. Namun, sampai maut menjemputnya pada 6 April 2005 di rumahnya di Tangerang, tidak menjelaskan secara terperinci, sampai berapa jauh keterlibatan Jenderal Suharto dalam G30S.  

Brigjen Supardjo 
IA berasal dari Divisi Siliwangi, pasukan Supardjo-lah yang telah berhasil menangkap gembong DI, Kartosuwiryo, dan mengakhiri pemberontakan DI di Jawa Barat. Kemudian ia ditugaskan ke Kostrad, lalu menjabat sebagai Panglima Kopur II Kostrad di bawah Jenderal Soeharto. Tokoh ini juga cukup dekat dengan Soeharto. Hampir dapat dipastikan bahwa tokoh ini pun, seperti kedua tokoh sebelumnya, yakni Letkol. Untung dan Kolonel Latief, seseorang yang memiliki kesetiaan tinggi kepada Presiden Soekarno.  
Supardjo merupakan anggota kelompok yang biasa disebut kelompok Kolonel Suwarto (Seskoad Bandung), yang di dalamnya terdapat Alamsyah, Amir Makhmud, Basuki Rakhmad, Andi Yusuf, Yan Walandow.


Ia mempunyai hubungan lama dengan CIA dan menjadi petugas Soeharto dalam mencari dana dari luar negeri. Ia pun anggota trio Soeharto—Syam—Latief, cs. [Untung, Supardjo], begitu tulis A.M. Hanafi. Brigjen. Supardjo pernah mendapatkan pendidikan militer di Amerika yakni di Fort Bragg dan Okinawa. Tentulah pemilihannya selain berdasar kriteria di dalam negeri yakni pihak AD, juga telah melalui seleksi ketat baku yang dikendalikan oleh CIA. Sampai di mana tangan dinas rahasia CIA bermain dalam hubungan ini?
Setelah kegagalan G30S, ketika ditahan di RTM Budi Utomo, Jakarta, dalam keadaan diisolasi Supatjo mendapat simpati banyak orang, dari petugas maupun tahanan lain.


Di depan mahmilub, jenderal ini telah menantang agar bukan cuma G30S yang diadili, tetapi juga Dewan Jenderal (DJ). Untuk itu ia siap membuktikan keberadaan DJ, kegiatan mereka masa prolog yang menjurus pada Peristiwa G30S dan masa yang sama serta bahan-bahan setelah kejadian. Tentu saja permintaan semacam itu hanya menjadi suara di padang pasir tanpa gaung dalam situasi pengadilan penuh rekayasa serta tekanan politik dan penindasan fisik masif rezim orba. Sedang permintaan sederhana yang amat wajar dari Sudisman di mahmilub untuk menghadirkan Supardjo sebagai saksi tidak dipenuhi.
Salah seorang putra Jenderal Supardjo mengisahkan detik-detik terakhir sebelum dia dieksekusi pada 16 Mei 1970. Ketika bertemu keluarganya, dia meminta mereka menggenggam dan menghancurkan sebuah apel, lalu dia memberikan ke masing-masing anaknya apel yang telah digigitnya untuk dihancurkan. “Kalau Kalian terdiri dari kepingan-kepingan kecil, akan gampang dihancurkan. Tapi jika kamu bersatu, mungkin akan hancur, tapi diperlukan kekuatan besar....” Pada saat terakhir, “Saya lihat ayah berjalan menuju tempat eksekusi. Dia mengenakan baju olahraga putih yang menurut dia bisa sekaligus untuk kafan. Ayah tenang berjalan menuju lapangan sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya.” Demikian yang ditulis Tempo, 9 Oktober 2005.        

Syam Kamaruzzaman
Bahan atau data-data  tentang tokoh sipil yang menjadi  “gembong “ G30S yaitu Syam Kamaruzzaman, sangat banyak dan bisa kita peroleh dari tulisan-tulisan para ahli riset dan sejarah seperti Ben Anderson, Dr. Asvi Warman Adam, Harsutedjo, dan Prof. John Roosa serta para ahli lainnya. Namun, untuk sekedar pengetahuan kita bersama, marilah sedikit kita kutip tulisan Harsutedjo tentang Syam ini
“Nama asli Syam  ialah Syamsul Qomar bin Mubaidah, dalam dokumen 1960-an disebut Kamarusaman bin Ahmad Mubaidah. Nama samarannya Sjamsuddin, Djiman, Karman, Ali Muchtar, Ali Sastra. Ia diduga membujang sampai umur 40 tahunan, juga tidak diketahui bagaimana keluarganya
Menurut Letkol. Ali Said, S.H., Syam bukan tokoh PKI sepele, ia dapat disejajarkan dengan D.N. Aidit. Ia sebagai jenderal intel PKI yang menjadi anggota PKI sejak 1949.

Syam bertindak sebagai intel di Resimen 22 Brigade 10, Divisi Diponegoro dengan pangkat letnan satu, eks Laskar Gabungan Yogya yang sebelumnya berada dalam satu Kelompok Pathuk bersama Letkol. Soeharto. Komandan resimennya ketika itu Mayor Haryosudirjo. Berdasar pengakuan Syam yang diceritakan kepada Latief, ia berada dalam pasukan Soeharto ketika SU 1 Maret 1949.   Sekitar 1947, Syam mulai berkenalan dengan D.N. Aidit yang mengajaknya untuk aktif di Pemuda Tani, afiliasi BTI. Sebagai intel pada Batalyon 10 Yogya, Lettu. Syam di bawah Letkol. Soeharto. Sejak itu Syam berhubungan dekat dengan Aidit maupun Soeharto. Hubungan persahabatannya dengan Soeharto berjalan selama 20 tahun. (Ada informasi yang mengatakan bahwa pada waktu itu Aidit juga merupakan anggota pemuda Kelompok Pathuk bersama Syam dan Suharto-pen).
Pada tahun 1949, Syam pindah ke Jakarta dan pada 1950 ia membantu pembebasan Aidit yang baru datang dari Vietnam [menurut mitos] yang ditahan di Tanjungpriok karena tidak punya tiket. 

Pada tahun 1950—57, ia di SOBSI Jakarta, lalu sebagai sekretaris. Pada 1957 ia diangkat sebagai pembantu pribadi Aidit, Ketua PKI.
Peter Dale Scott menyebut Syam sebagai seorang kader PSI, pada tahun 1950-an ini juga ia sering datang dan menginap di rumah Soeharto di Yogya. Menurut Subandrio, yang juga Ketua Badan Pusat Intelijen (BPI), pada 1958, Syam perwira intelijen AD serta mitra lokal CIA. Dengan demikian Syam mempunyai hubungan tertentu dengan CIA, baik secara langsung atau pun tidak.
Ketika Kolonel Soeharto memasuki Seskoad di Bandung, Syam ikut serta dalam kursus militer itu, demikian menurut penyelidikan Poulgrain. Hubungan mereka begitu rumit. Kolonel Suwarto dididik di Amerika, ia sahabat Guy Pauker, orang penting CIA dalam hubungan dengan Indonesia, pernah mengajar di Barkeley, konsultan RAND Corporation yang menitikberatkan kontak-kontaknya dengan kalangan militer AD Indonesia. Suwarto pernah diundang Pauker meninjau perusahaan tersebut pada 1962. Pauker mendapat tugas melakukan sapu bersih terhadap PKI. Antara lain lewat Suwarto-lah CIA melakukan operasinya misalnya dengan apa yang disebut civic mission AD, yang sebenarnya merupakan civic action CIA dalam melakukan kontak-kontak dengan kelompok anti komunis di kalangan AD. Rupanya lewat jalur inilah Soeharto pertama kali berhubungan dengan CIA.
Berdasar pemeriksaan dokumen-dokumen yang ada di AS, Belanda, dan Indonesia, dalam majalah resmi PSI, nama Syam tercantum sebagai Ketua PSI Ranting Rangkasbitung, Banten. Dalam arsip Belanda, Syam tercatat sebagai intel Recomba Jawa Barat. Recomba merupakan pemerintah federal boneka Belanda, bisa saja Syam menyelundup menjadi spion untuk mengorek rahasia Belanda, akan tetapi hal ini aneh. Dalam berbagai koran 1950-an, ia disebut sebagai informan dari Komando Militer Kota (KMK) Jakarta. Sejumlah narasumber perwira yang menjadi tapol di Salemba menyebutkan Syam pada tahun 1951 tercatat sebagai kader PSI yang mendapatkan pelatihan partai itu di antara 29 kader yang lain.


PADA 1960-an dengan bentuk lebih jelas pada 1964, Syam diangkat menjadi ketua Biro Chusus (BC), suatu jaringan intelijen PKI yang hanya mempunyai hubungan langsung dengan Aidit selaku ketua Politbiro CC PKI. Tugas Syam, pertama mengumpulkan info untuk diolah dan diserahkan kepada Aidit. Kedua, membangun sel-sel PKI di tubuh ABRI dan membinanya. Tugas Syam yang lain mengadakan evaluasi dan melaksanakan tugas-tugas yang tak mungkin dilakukan alat-alat formal PKI. BC mempunyai aparatnya sendiri yang tidak diketahui oleh pimpinan formal PKI. Ia memberikan laporan, mengolah informasi dan menyampaikannya kepada Aidit secara langsung. Oleh Aidit, bahan-bahan dan keputusan disodorkan pada Politbiro untuk disetujui dan dilaksanakan.
Menurut seseorang yang mengaku sebagai mantan agen CIA, Soeharto mendapat perhatian cukup dari BC PKI dan dibina melalui Syam, Untung, dan Latief. Dalam hal ini Soeharto mendapat kategori sebagai ‘orang yang dapat dimanfaatkan’. Hal ini cocok dengan keterangan Untung dan Latief bahwa Soeharto akan membantu gerakan mereka, dan dibuktikan dengan didatangkannya Yon 530 dan Yon 454 dalam keadaan siap tempur. Sedang yang lain menamainya sebagai trio sel PKI.


Pada tahun 1967, majalah Ragi Buana menamai Syam sebagai ‘double agent’, ia menjadi informan Kodam Jaya sejak 1955 sampai kudeta 1965. Untuk memperdalam ilmunya pada 1962 ia dikirim ke RRT, Korea Utara, dan Vietnam, termasuk memperdalam bidang intelijen terutama menyangkut strategi mempersiapkan dan menggerakkan pemberontakan bersenjata.  Menurut Dr. Asvi Warman Adam (Kompas, Senin, 30 September 2002), “Sjam sendiri masih misterius, apakah dia double agent (AD dan Biro Chusus PKI) bahkan triple agent (AD, Biro Chusus PKI, dan CIA)?” 
Sebagai Ketua BC PKI, Syam lapor langsung kepada Aidit. Karena Aidit satu-satunya pimpinan PKI yang membentuk BC serta mengetahui personilnya, maka BC ini merupakan partai dalam partai dengan Syam sebagai orang tertingginya. Seperti disebutkan oleh Sudisman, BC dibentuk tanpa persetujuan CC PKI, dalam hal ini Aidit telah melanggar konstitusi partai. Dengan demikian BC bukan aparat partai, tetapi aparat Aidit. Di pihak lain yang mengontrol seluruh struktur aparat dan sepak terjang BC bukan Aidit, tetapi Syam. Jika Syam seorang agen ganda, maka praktis seluruh struktur BC merupakan alat dalam kendali musuh PKI.  Nama Syam juga berada dalam daftar gaji Kodam Jaya. Di Kodam Jaya, Syam berhubungan dengan Latief, di samping hubungannya dengan Kostrad

Setelah G30S gagal, dan semua pimpinannya, Untung, Latief, Supardjo dll. Ditangkap, Syam ditangkap pada 8 Maret 1967 di Cimahi dan ditahan di RTM Budi Utomo Jakarta pada 27 Mei 1967. Namun, berbeda dengan tahanan lainnya, Syam mendapat perlakuan “super istimewa” selama dalam tahanan. Oei Tjoe Tat, S.H., mantan menteri negara yang juga pernah ditahan di RTM, menggambarkan Syam sebagai orang yang tidak tahu diri. Kalau ia keluar untuk diperiksa, orang lain menjadi tidak tenteram karena ulahnya. Ia orang misterius yang dijauhi oleh para tahanan yang lain. 
Dengan telah ditembakmatinya Aidit tanpa diajukan ke pengadilan maka Syam mempunyai kesempatan untuk memonopoli seluruh keterangan tentang G30S dalam hubungannya dengan PKI. Hanya Syam sebagai Ketua BC PKI dan Aidit sebagai Ketua Politbiro PKI yang mengetahui seluk beluk biro tersebut dalam hubungan dengan peristiwa G30S serta hubungannya dengan sejumlah perwira militer.  

Syam dijatuhi hukuman mati oleh mahmilub pada 9 Maret 1968. Namun,  berdasarkan catatan, Syam diambil dari Cipinang pada 27 September 1986 jam 21.00 oleh petugas Litkrim Pomdam Jaya atas nama Edy B. Sutomo (NRP.27410), lalu dibawa ke RTM Cimanggis. Tiga hari kemudian tengah malam bersama dua kawannya ia dibawa dari Cimanggis dan pada jam 01.00 sampai ke Tanjungpriok. Mereka diangkut dengan kapal laut militer ke sebuah pulau di Kepulauan Seribu dan dieksekusi pada jam 03.00. Tak ada keterangan mengapa pelaksanaan eksekusi terhadap Syam—dan sejumlah tokoh yang lain—terus diulur-ulur hingga 14 tahun dihitung dari sejak masuk Cipinang, bahkan 18 tahun bila dihitung sejak vonis mahmilub”.  

Jalannya peristiwa menunjukkan peran agen Syam menjadi salah satu kunci penting keberhasilan operasi yang sedang dilancarkan oleh sahabat lamanya, Jenderal Soeharto. Mungkinkah orang yang agaknya tahu betul akan “isi perut” Soeharto dalam hubungan dengan G30S dibiarkan hidup bebas?


Kita telah melihat dan mengetahui sedikit banyaknya profil orang-orang yang pegang peranan dalam Gerakan 30 September 1965, seperti Letkol. Untung, Kol.A.Latief, Brigjen. Supardjo, dan tokoh misterius Syam Kamaruzzaman yang merupakan gembong G30S. Kita juga bisa melihat hubungan antara mereka dengan Panglima Kostrad Jenderal Soeharto, sehingga dengan demikian kita juga bisa melihat bagaimana “hubungan” antara Jenderal Soeharto dengan Gerakan 30 September 1965.  Sehingga dengan demikian terjawablah kecurigaan Ratna Sari Dewi Soekarno, istri ketiga Bung Karno yang berasal dari Jepang, yang mengatakan “Sepertinya Soeharto sudah tahu semua, seakan telah direncanakan….Bagaimana dia bisa memecahkan masalah yang terjadi pada malam 30 September dan segera bertindak. Begitu cepat. Kalau belum tahu rencana G30S, ia tak mungkin bisa melakukannya”
Begitu juga Mike Head , wartawan Sydney Morning Herald 19 July 1999 yang  mengatakan: “The speed with which Soeharto moved on October 1 support the conclusion that, acting in concert with the US agencies, he engineered the whole operation to eliminate his rivals and provide a pretext for moving against Soekarno and the PKI”.  Jadi benar sekali kalau Hasan Raid dengan nama samaran Sulangkang Suwalu pada 8 Agustus 1998 menulis dan menyebarkan dalam berbagai milis: “G30S/SOEHARTO, BUKAN G3OS/PKI”. (lihat juga  apakabar@access.digex.net ; http://umarsaid.free.fr/ dan GELORA45). Bahkan, sampai matinya tokoh G30S, Kol. A. Latief, tetap mengatakan “Jenderal Soeharto Terlibat G30S!”   (bersambung) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MARHAENISME

· Marhaen

Orang yang menderita lahir batin akibat kapitalisme , kolonialisme/ imperialism ,feodalisme atau system lainya yang menindas dan mengungkung

· Marhaenis

Orang yang berjuang untuk kaum marhaen dalam membebaskan diri dari semua sistim yang mengungkung dan menindas dan mewujudkan masyarakat marhaenis yang tidak saling menindas

MARHAENISME

Ajaran bung Karno secara keseluruhan

v Bung karno dengan pisau analisa historis materialism menganalisa kondisi masyarakat Indonesia sebagai komunitas social ,hidup disuatu wilayah geo politik hindia belanda dan tidak dapat mengaktualisasikan tuntutan budi nuraninya (Social Consience Of Man )

Karena Apa ……?

Tertindas oleh system yang menindasnya , kolonialisme / imperialism ,anak kapitalisme dan feodalisme bangsa sendiri

BK (Bung karno) mencetuskan ideology disebut marhaenisme dengan asas

- Sosio Nasionalisme

- Sosio Demokrasi

- Sosio KeTuhanan YME