Selasa, 13 Maret 2012

Pandangan Islam Terhadap Marhaenisme


Artikel ‘Pandangan Islam Terhadap Marhaenisme’ ini ditulis dan disampaikan oleh Ahmad Dahlan Ranuwihardjo pada Seminar Nasional bertajuk “Aktualisasi Marhaenisme dalam Pembangunan Masyarakat Madani Berdasarkan Pancasila”, yang diselenggarakan oleh Keluarga Besar Marhaenis tanggal 13 Maret 1999 di Yogyakarta.
Mengingat pentingnya tema besar Islam dan Marhaenis di atas, dan agar pengguna internet di manapun kini berada dapat menangkap pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam artikel dimaksud, kami share di ranah maya melalui blog rohmarhaenisme.blogspot.com ini. Semoga artikel panjang berikut dapat menambah wawasan Keislaman dan Keindonesiaan kita.

PENDAHULUAN
Seminar Nasional Marhaenis ini merupakan pukulan –atau dengan bahasa Bung Karno—merupakan palu godam bagi kubu imperialism dan neokolonialisme. Seorang juru bicara kubu imperialism Daniel Bell pernah mendalilkan: the end of the ideology. Mengapa Bell itu menganggap ideologi sudah mati? Ialah agar bangsa-bangsa di dunia hanya menganut satu ideologi, yaitu ideologi liberalism kapitalisme dengan apa yang dinamakan ekonomi pasar bebas bagi kapitalisme Barat untuk mendominasi ekonomi negara-negara berkembang seperti Indonesia yang dengan kekayaan alamnya yang melimpah, dengan penduduknya yang banyak serta dengan upah buruhnya yang murah, semuanya ini merupakan lahan yang empuk enak bagi kapitalisme.

Seminar Nasional Marhaenisme ini membuktikan ideologi tidaklah berakhir. Ideologi tidaklah mati. Pancasila Insya Allah tetap hidup. Marhaenisme Insya Allah juga akan bangkit kembali. Kepada Pengurus Pusat Keluarga Besar Marhaenis, saya berdiri tegak memberi salut atas prakarsanya menyelenggarakan seminar ini.
REPUBLIK INDONESIA NEGARANYA RAKYAT KECIL
Pada hari protag (Proklamasi 17 Agustus 1945) bangsa Indonesia dapat dikatakan hampir seluruhnya terdiri dari rakyat kecil yang hidup dalam serba kekurangan dan keterbatasan. Pemuda-pemuda termasuk TNI yang dengan senjata membela dan mempertahankan republik protag juga terdiri dari mereka yang berasal sebagian besar rakyat kecil.
Tanpa mengurangi sedikitpun peran dan hak orang-orang Indonesia yang kaya dimana jumlahnya amat sedikit pada hari protag tersebut, dapatlah dikatakan bahwa Republik Indonesia (RI) adalah negara rakyat kecil.
Beda dengan Amerika Serikat yang didirikan oleh 13 negara bagian dengan declaration of independence 4 Juli 1776, masing-masing negara bagian yang mendirikan negara federal Amerika Serikat itu adalah negaranya kaum menengah yang sudah mapan yang serba sudah punya. Sudah punya tanah dan kebun, sudah punya bisnis dan sumber penghasilan lain yang memberi posisi kelas menengah kepada mereka. Dan kelas menengah di Amerika itu sudah tercipta dalam waktu kurang lebih 150 tahun sejak mereka pada awal abad ke-17 bermigrasi dari Eropa menuju benua Amerika.
Rakyat kecil di Indonesia mempunyai “profesi” yang tidak mandiri seperti pegawai negeri dan buruh, atau mandiri seperti pemilik warteg, petani kecil, tukang jahit, pemilik bengkel sepeda, pedagang asongan, kaki laima dan pemulung, semuanya baik yang tidak mandiri maupun yang mandiri adalah orang-orang kecil karena kecil penghasilannya. Mereka orang-orang kecil itu tidak dapat disebut proletar, karena proletar per definisi adalah orang yang menjual tenaganya tanpa mempunyai hak kepemilikan atas alat produksi, sedang yang memiliki alat produksi adalah si borjuis kapitalis.
Sewaktu Karl Marx bersama-sama Friedrich Engels menyusun Manifesto Komunispada tahun 1848, orientasi Marx adalah para buruh di Inggris yang menggunakan satu-satunya kategori orang kecil di Inggris.
Bung Karno yang melihat rakyat kecil di Indonesia adalah beragam kategorinya, tidak dapat menyebut mereka sebagai kaum proletar, apalagi pada tahun 1920-an itu industry di Indonesia baru berupa beberapa pabrik gula, sehingga jumlah buruhnya yang disebut kaum proletar juga baru sedikit, sedangkan rakyat kecil di Indonesia adalah hampir semua rakyat.
Untuk mencakup semua rakyat kecil di Indonesia itu Bung Karno mempergunakan sebutan si marhaen. Dan marhaenisme adalah perjuangan yang berorientasi kepada orang kecil si marhaen dan berupaya mengangkat derajat mereka.
Ajaran Bung Karno tentang marhaenisme itu sepenuhnya sesuai dengan kondisi sosiologis dari masyarakat Indonesia. Dan kalau UUD 1945 Pasal 33 mencantumkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha berdasarkan asas kekeluargaan, dan penjelasan pasal tersebut menyebutkan koperasi sebagai yang dimaksudkan oleh pasal tersebut, sedangkan koperasi tidak dapat tidak adalah usahanya kaum kecil dan kaum lemah, maka ajaran Bung karno tentang marhaenisme itu telah memperoleh penjabarannya dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat (1).
Kongres PNI di Bandung tahun 1966 membuat definisi tentang Marhaenisme, yaitu: Sosio-Nasio-Demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, dan ini identik dengan Pancasila.
ISLAM DAN NASIONALISME INDONESIA
Sejak semula, nasionalisme yang dikumandangkan oleh Bung Karno pada tahun 1927 bukanlah sembarang nasionalisme, bukanlah nasional tok, melainkan nasionalisme  yang terangkum dalam rangkuman Sosio-Nasio-Demokrasi, yaitu nasionalisme yang mengandung prinsip-prinsip kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial.
Pada waktu itu di kalangan Islam terjadi polemik tajam antara ustadz A. Hassan, tokoh Persis (Persatuan Islam) Bandung dan Mochtar Luthfi, pemimpin Parmi (Partai Muslimin Indonesia) Padang. A. Hassan menentang paham nasionalisme yang diagung-agungkan bagaikan berhala sesembahan baru. Mochtar Luthfi menganut nasionalisme sebagai sikap menentang kolonialisme/kapitalisme yang sebagai sistem penghisapan/penindasan merupakan kedholiman yang menurut ajaran Islam harus ditentang.
Yang dilihat oleh ustadz A. Hassan adalah nasionalisme Barat dengan perangainya yang chauvinistic, ekspansionistik dan jinggoistik.
Setiap kali suatu negara imperialis melakukan perang menaklukkan suatu negara jajahan, para serdadunya yang kembali dari medan perang disambut, dielu-elukan dan disamping oleh rakyat negara imperialis dianggap pahlawan bangsa. Inilah yang dimaksud oleh ustadz A. Hassan bahwa nasionalisme itu sudah merupakan berhala sesembahan baru.
A. Hassan sampai-sampai mengidentikkan nasionalisme dengan ‘ashobiyyah’ yang adalah identik dengan fanatisme atau chauvisme. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Nabi bersabda bahwa siapa yang mati karena menyetrukan atau menolong ‘ashobiyyah, matinya adalah mati jahiliyah.
Sampai sekarang di kalangan Islam masih ada saja yang menyamakan kebangsaan dengan ‘ashobiyyah’. Benarkah ini? Sebuah Hadits dari Abu Daud meriwayatkan seorang sahabat Watsilah Asqa’ bertanya kepada Nabi: “Apakah ‘asshobiyyah’ itu, ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “bahwa engkau menolong kaummu dalam kedholiman”.
Paham kebangsaan yang dibawakan oleh Bung Karno yaitu kebangsaan yang berperikemanusiaan, berdemokrasi dan berkeadilan sosial tentulah bukan kebangsaan yang mengandung kedholiman seperti kebangsaan Barat yang chauvinistic, espansionistik dan jinggoistik. Oleh karena utu paham kebangsaan Indonesia tidaklah identik dengan ‘ashobiyyah’.
Dengan dikumandangkannya oleh Bung Karno paham Sosio-Nasio-Demokrasi itu berakhirlah polemik antara A. Hassan dan Mochtar Luthfi mengenai paham kebangsaan.
Umat Islam Indonesia dapat menerima paham nasionalisme Indonesia yang mengandung prinsip-prinsip kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial yang disebut Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi atau lebih disingkat lagi Sosio-Nasio-Demokrasi yang setelah dipadukan dengan ke-Tuhanan Yang Maha Esa menjadi lima silanya Pancasila.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP MARHAENISME
Islam mengandung ajaran-ajaran yang mengharuskan sikap peduli dan sikap memihak kepada orang kecil, orang miskin yang oleh Bung Karno disebut si Marhaen, dan yang dalam Al-Qur’an disebut kaum dhu’afaa. Bahkan sikap tidak peduli atas nasib orang-orang miskin itu adalah sama dengan mendustakan agama sebagaimana yang difirmankan Allah SWT di dalam Surat A-Maun, “Siapakah yang mendustakan agama. Ialah yang mengabaikan anak-anak yatim dan tidak peduli terhadap orang-orang miskin yang kelaparan”.
Jadi, muslim/muslimat yang rajin shalat lima waktu dan tertib berpuasa di dalam bulan ramadhan bahkan yang sudah haji dan membayar zakat, tetapi mengabaikan anak-anak yatim dan orang-orang miskin, atau seorang pejabat tinggi yang dengan kebijakanaan-kebijaksanaannya tidak bijaksana menimbulkan kemiskinan yang disebut kemiskinan struktural, si pejabat itu walaupun kadang-kadang dengan tegap memukul bedug bertalu-talu dan dengan suara lantang mengumandangkan takbir, muslim/muslimat dan pejabat tinggi tersebut di mata Allah SWT adalah orang-orang yang mendustakan alias memanipulasi agama.
Di bidang ekonomi, Al-Qur’an mengandung ajaran-ajaran yang melarang orang-orang kecil dihisap ataupun dirampas haknya. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Ahqaaf ayat 19, “Bagi setiap orang apa yang dikerjakan mempunyai harga, harga itu hendaknya dibayar penuh dan janganlah ada yang dihisap.”
Sementara itu, Surat Al-Baqarah ayat 275 melarang riba. Dan yang dimaksudkan riba tidaklah hanya berupa bunga terhadap pinjaman uang, melainkan setiap bentuk keuntungan yang diperoleh dari seseorang yang sedang dalam kesulitan. Umpamanya dalam hal ‘ngijon’, yakni menjual tanaman padi (atau tanaman buah-buahan) yang sudah menghijau (atau berbuah) dengan harga lebih kurang separuh dari harga tanaman yang sudah siap panen; atau membeli barang seseorang yang sedang membutuhkan uang dengan harga jauh di bawah pasaran.
Jadi riba adalah mengandung unsur kedholiman (penghisapan) terhadap orang kecil yang dalam kesempitan. Itulah mengapa Surat Al-Baqarah ayat 275 itu disambung dengan ayat lain yang berbunyi,”Janganlah kamu menghisap dan janganlah kami dihisap.”. Surat tersebut diperkuat dengan Hadits Nabi, “Janganlah kamu menimbulkan kerugian, jangan pula kami dirugikan.”
Di dalam ajaran Islam: mencegah kemungkinan (nahi munkar) yang termasuk kemungkinan di bidang ekonomi adalah setiap bentuk penghisapan manusia oleh manusia, bangsa yang satu oleh bangsa yang lain dan penghisapan bangsa oleh beberapa gelintir orang sebangsa.
Terhadap kapitalisme yang merupakan sistem penghisapan, Mohammad Qutb menulis dalam Islam the Misunderstood Religion, 1964, halaman 132 sebagai berikut, “Mereka kaum orientalis berpendapat karena Islam mengakui hak milik perorangan, mereka lalu mengira bahwa Islam menyetujui kapitalisme. Kapitalisme itu tidak dapat tumbuh dan berkembang tanpa penghisapan (riba) dan monopoli yang dua-duanya dilarang oleh Islam sekitar seribu tahun sebelum keberadaan kapitalisme.” (The orientalist argue that Islam permitted individual ownership it must likewise permit capitalism. In answer to this accusation it might suffice to point out that capitalism can not propher or grow without usury and monopoly both of which were prohibited by Islam about one thousand years before the existence of capitalism).
Mengenai laba yang diperoleh si kapitalis berkat kerja dan keringat si buruh, kembali Mohammad Qutb menyatakan, “Prinsip Islam dalam hal ini adalah memberi hak kepada si buruh untuk menerima bagian dari laba perusahaan. Majikan menyediakan modal dan buruh memberikan tenaga kerjanya. Kedua belah pihak berhak memperoleh bagian yang sama atas laba perusahaan.” (The Islamic principle which was laid in this respect entitles the workman to share the profit with their employers. The Employer provides the capital and the workman does the work. The two effort are equal and accordingly the are entiled to an equal share in the profit).
Penjabaran lain dari Marhaenisme adalah Pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan ayat (3). Dalam penjelasan mengenai Pasal 33 itu diterangkan jika negara tidak menguasai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, tampak produksi akan jatuh ke tangan orang seorang, sehingga rakyat banyak akan ditindasnya (dihisap). Demikian juga kalau bumi, air dan kekayaan alam didalamnya tidak dikuasai oleh negara, kekayaan alam itu tidak akan dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pasal 33 UUD 1945 itu merupakan prinsip ekonomi Marhaenisme sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam seperti yang terkandung dalam Surat Thaha ayat 6, “Milik Allah-lah semua yang ada di langit, yang ada di bumi, dan di antara keduanya serta yang ada di bawah tanah.” Kalau disebut milik Allah, itu berarti bahwa semua kekayaan alam haruslah dimiliki bersama, tidak boleh dimiliki orang seotang. Ayat tersebut diperkuat oleh sebuah Hadits Nabi diriwayatkan oleh Ahmad Abu Daud, “Manusia haruslah memiliki tiga sumber, yitu sumber air, sumber tumbuh-tumbuhan dan sumber energi.”
Menurut Mustafa Husni Assiba’i dalam  Sosialisme Islam (terjemahan M. Abda’i Ratomy, halaman 215), kalau Hadits tersebut hanya menyebutkan tiga macam sumber alam, hal ini sekali-kali bukan membatasi pemilikan bersama itu hanya pada tiga macam komoditi tersebut, melainkan dapat diperluas kepada semua benda yang merupakan kebutuhan bersama bagi rakyat.
Demikian beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits yang merupakan acuan betapa Islam amat peduli terhadap nasib kaum dhu’afaa atau kaum marhaen.
KEMENANGAN YANG ABADI
Allah akan mengangkat kaum dhu’afaa sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam surat Al-Qoshash ayat 6, “Dan kami (Allah) akan menolong kaum dhu’afaa di muka bumi dan menjadikan mereka pemimpin dan orang-orang yang akan mewarisi (bumi).” Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya kemenanganmu adalah bersama-sama dengan kaum dhu’afaa.”
Makna Hadits tersebut adalah bahwa kemenangan akan tercapai hanya jika kita memihak kepada kaum dhu’afaa atau kaum marhaen dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dan kemenangan bersama-sama dengan kaum dhu’afaa/marhaen itu adalah kemenangan yang abadi.
Kemenangan dan kejayaan rezim Suharto adalah kemenangan bersama-sama para Konglomerat yang korup dan kolusif disertai dengan penghisapan, penindasan dan penggusuran kaum dhu’afaa/marhaen. Karena itu kemenangan dan kejayaan Suharto hanyalah kemenangan sementara dan sekarang sudah runtuh ambruk.
Bagi umat Islam Indonesia perjuangan untuk mencapai negara yang adil dan makmur lahir batin yang diridhoi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur) tidaklah lain melainkan perjuangan yang dijiwai oleh perintah Allah, “Sesungguhnya shalatku, perjuanganku, hidupku dan matiku hanyalah semata-mata untuk Allah.” Dan yang dimotori oleh nasionalisme Indonesia (bukan ‘ashobiyyah) yang ber-Pancasila, jadi yang bercorak Sosialisme Indonesia (bukan sosialisme marxis) karena Pancasila adalah anti-kapitalis, anti-imperialis dan anti-nekolonialis (tentu saja juga anti-komunis).
Dalam hubungan ini saya teringat kepada pesan Bung Karno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, 1959, halaman 10, “Islam yang sejati tidaklah mengandung azas anti-nasionalis; Islam yang sejati tidaklah bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi paham nasionalisme yang luas budi…, selama itu kaum Islamis tidak berdiri di atas Shirothol Mustaqim.”
Selanjutnya Bung Karno juga menegaskan di buku yang sama halaman 253, “Dan perjuangan menuju baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur itu perjuangan yang bersandarkan kepada kaum dhu’afaa, kaum marhaen, jadi yang bersemangat marhaenisme yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.”
Bagi seorang muslim Indonesia yang ingin menjadi muslim/muslimat yang baik, ia sekaligus haruslah seorang nasionalis, seorang Pancasilais, seorang sosialis dan seorang Marhaenis.
APAKAH AKU SEORANG MARHAENIS?
Seorang muslim Indonesia yang baik adalah seorang muslim yang nasionalis, pancasilais, sosialis dan marhaenis.
Karena ingin menjadi seorang muslim yang baik, yang sejati kata Bung Karno, Insya Allah, saya adalah seorang Marhaenis.


MARHAENISME

· Marhaen

Orang yang menderita lahir batin akibat kapitalisme , kolonialisme/ imperialism ,feodalisme atau system lainya yang menindas dan mengungkung

· Marhaenis

Orang yang berjuang untuk kaum marhaen dalam membebaskan diri dari semua sistim yang mengungkung dan menindas dan mewujudkan masyarakat marhaenis yang tidak saling menindas

MARHAENISME

Ajaran bung Karno secara keseluruhan

v Bung karno dengan pisau analisa historis materialism menganalisa kondisi masyarakat Indonesia sebagai komunitas social ,hidup disuatu wilayah geo politik hindia belanda dan tidak dapat mengaktualisasikan tuntutan budi nuraninya (Social Consience Of Man )

Karena Apa ……?

Tertindas oleh system yang menindasnya , kolonialisme / imperialism ,anak kapitalisme dan feodalisme bangsa sendiri

BK (Bung karno) mencetuskan ideology disebut marhaenisme dengan asas

- Sosio Nasionalisme

- Sosio Demokrasi

- Sosio KeTuhanan YME