Minggu, 05 Februari 2012

TIAP-TIAP RAKYAT JAJAHAN INGIN MERDEKA


Ir.Soekarno

Tiap-tiap rakyat jajahan ingin merdeka

Oleh karena itulah, Tuan-tuan Hakim, maka tidka ada satu rakyat negeri jajahan yang tindak ingin merdeka, tidak ada satu rakyat jajahan yang tak mengharap-harapkan datangnya hari kebebasan. Jikalau Partai Nasional Indonesia mendengung-dengungkan semboyan “mencapai kekuasaan politik” itu, jikalau Partai Nasional Indonesia mengobar-ngobarkan semangat ingin merdeka itu, maka ia hanyalah mengemukakan cita-cita umum belaka. Kemerdekaan adalah syarat yang amat penting baginya untuk bisa melawan dan memberhentikan imperialisme itu dengan seluas-luasnya. Kemerdekaan adalah pula syarat yang amat penting bagi pembaikan kembali segala susunan pergaulan hidup suatu negeri bekas jajahan, suatu syarat yang amat penting bagi rekonstruksi nasionalnya.
Ya, kemerdekaan adalah syarat yang amat penting bagi kesempurnaan rumah tangga tiap-tiap negeri, tiap-tiap bangsa, baik bangsa timur maupun bangsa Barat, baik bangsa kulit berwarna maupun bangsa kulit putih. Tiada satu bangsa bisa mencapai kebesaran zonder kemerdekaan nasional, tidak ada satu negeri bisa menjadi teguh dan kuasa, umpama ia tidak merdeka. Sebaliknya, tiada satu negeri jajahan yang bisa mencapai keluhuran, tiada satu negeri jajahan yang bisa mencapai kebesaran itu. Oleh karena itu, maka tiap-tiap bangsa jajahan ingin akan kemerdekaan itu, ingin supaya bisa mencapai kebesaran itu.
Tiap-tiap rakyat yang tak merdeka, tiap-tiap rakyat yang karena itu, tak bisa dan tak boleh mengatur rumah tangga sendiri secara kepentingan dan kebahagiaan sendiri, adalah hidup di dalam suasana yang rusuh, yakni hidup di dalam suasana yang kami sebutkan tadi, hidup di dalam suatu “permanente onrust”, kerusuhan yang terus-menerus, yang tersebabkan oleh tabrakan daya-daya yang saling bertentangan itu, — suatu keadaan yang tidak boleh tidak menimbulkan pula keinginan keras akan hilangnya pertentangan-pertentangan itu, yakni keinginan keras akan berhentinya ketidak-merdekaan itu tadi. Dari Maroko sampai Filipina, dari Korea sampai Indonesia melancar-lancar kemana-mana melalui gunung dan samudra, terdengarlah suara yang memanggil-manggil kemerdekaan itu,– bukan saja dari mulut rakyat-rakyat yang baru saja merasakan pengaruh imperialisme, tetapi juga, ya, malahan terutama, dari mulut bangsa-bangsa yang sudah berabad-abad tak menerima cahaya matahari kebesaaran.
“Sekalipun sudah berabad-abad mereka menjajah……begitulah Jules Harmand menulis lagi:
    “Sekalipun sudah berabad-abad mereka menjajah….., adalah suatu kebodohan apabila si penjajah itu sudah menyangka bahwa ia dicintai, — butalah ia apabila menyangka bahwa masyarakat yang dijajah itu merasa senang mengalami penjajahannya”…..”Bagaimanapun juga lemahnya atau merosotnya, bagaimanapun juga biadabnya disangka orang bangsa yang terjajah itu, — bagaimanapun juga jahatnya kaum ningratnya, atau sebaliknya, bagaimanapun juga beradabnya mereka itu dalam tingkah lakunya dan bagaimanapun juga tajam otaknya dianggap orang……mereka itu akan memandang kepergian atau hilangnya penjajahan asing selalu sebagai suatu pembebasan”. [1]
Mengertikah orang sekarang, apa sebabnya Prabu Jayabaya yang menujumkan kemerdekaan itu, terus hidup saja berabad-abad dalam hati rakyat? Mengertikah orang sekarang, apa sebabnya di dalam tiap-tiap surat kabar Indonesia, di dalam tiap-tiap rapat bangsa Indonesia,– juga kalau kami yang disebut “penghasut” tidak menghadirinya! –, sebentar-sebentar terbaca atau terdengar perkataan “merdeka”? mengertikah orang sekarang, apa sebabnya sampai partai-partai politik yang paling sabar atau sedangpun, misalnya Budi Utomo dan Pasundan, yang toh terang sekali bukan perkumpulan kaum “penghasut”, juga sama mengambil cita-cita Indonesia Merdeka, sebagaimana disyaratkan bagi penerimaan menjadi anggota PPPKI?
Partai Nasional Indonesia hanyalah lebih terang mengemukakan cita-cita itu; Partai Nasional Indonesia hanyalah lebih tentu mengutamakan kemerdekaan nasional itu, menjunjung kemerdekaan nasional itu sebagai syarat yang amat penting bagi pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia yang sekarang kocar-kacir ini, dan bagi bisa berhasilnya perjuangan menghentikan imperialisme itu! Sebab, sebagai yang kami terangkan tadi, Partai Nasional Indonesia mengambil soal jajahan itu di dalam hakikat yang sedalam-dalamnya, mengambil soal jajahan itu terus ke dalam pokok-pokoknya, — mengambil soal jajahan itu di dalam filsafatnya yang sebenar-benarnya, yakni filsafat,– kami ulangi lagi–, bahwa di dalam tiap-tiap sistem jajahan adalah pertentangan kepentingan antara kaum imperialisme dan kaum Bumiputra; bahwa di dalam tiap-tiap sistem jajahan umumnya, keadaan-keadaan adalah dipengaruhi, di-“cap”-kan, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan imperialistis; — bahwa karena itu, di dalam sistem jajahan mana pun juga, kepentingan Bumiputra tak bisa terpelihara sesempurna-sempurnanya.
Dalil –dalil pemimpin-pemimpin negeri lain
Dan juga dalam keyakinan ini, Partai nasional Indonesia tidak berdiri sendiri. Juga di dalam keyakinan ini, Partai Nasional Indonesia mendapat pembenaran di dalam ujaran-ujaran pemimpin besar di negeri-negeri lain. Jikalau Mustafa kamil[2] dari Mesir menulis, bahwa “suatu bangsa yang tak merdeka sebenarnya adalah suatu bangsa yang tak hidup”, jikalau Manuel Quezon[3] dari Filipina berkata bahwa “lebih baik zonder Amerika ke neraka daripada dengan Amerika ke surga”, jikalau Patrick Hendry dari Amerika duluu berteriak: “Berikanlah padaku kemerdekaan, atau berikanlah padaku maut saja” – maka itu bukanlah jerit budi pekerti yang “panas” belaka, tetapi di dalam hakikatnya mereka tidak lain daripada mengutamakan kemerdekaan nasional itu. Jikalau kita membaca pemimpin Irlandia, Michael Davitt, menulis:
“Baik keselamatan, baik bujukan maupun undang-undang yang menguntungkan, tidak akan memuaskan bangsa Ir, jika kami tidak mendapat hak untuk memerintah negeri kami sendiri”,[4].
Ya, jikalau kita membaca bahwa seoarang pemimpin Irlandia lain Erskine Childers, menolak tingkat free-statedan menuntut kemerdekaan sepenuh-penuhnya dengan perkataan:
    “Kemerdekaan bukanlah soal tawar-menawar, kemerdekaan adalah sebagai maut: dia ada atau dia tidak ada. Kalau orang menguranginya, maka itu bukan kemerdekaan lagi”,[5]
–tidakkah itu dalam hakikatnya suatu pembenaran pula dari kami punya pendirian itu? Tetapi, perhatikanlah perkataan-perkataan Jozef Mazzini, Bapak Rakyat Italia, yang lebih terang lagi:
    “Membangunkan tanah air ini, malahan adalah suatu kemustian. Penguatan hati dan jalan-jalan yang saya bicarakan tadi itu, hanya bisa datang dari suatu tanah air yang bersatu padu dan merdeka. Keadaan masyarakat kamu hanya bisa menjadi baik, apabila kamu ikut serta dalam kehidupan politik bangsa-bangsa.” Janganlah tertipu oleh pikiran, bahwa keadaan kebendaanmu akan menjadi baik, dengan tidak menyelesaikan lebih dulu soal nasional; kamu tidak akan berhasil dalam hal itu.”[6]
dan perhatikanlah pula perkataan-perkataan Sister Nivedita, yang mengutamakan kemerdekaan nasional itu buat suburnya hidup kebatinan dan hidup kesenian, di dalam buku Okakura: “Die Ideale des Ostens”:
    “Seni hanyalah bisa berkembang pada bangsa-bangsa yang hidup merdeka. Dia, sebenarnya adalah alat yang hebat dan buah Rasa-Suci dari kemerdekaan, yang kita sebut keinsafan kebangsaan”.[7]
Ini adalah ucapan-ucapan belaka. Prakteknya?
Marilah kita misalnya mendengarkan pidato Dr. Sun Yat Sen tentang San Min Chu I, di mana Bapak Rakyat Tiongkok ini, sudah menunjukkan bahwa Tiongkok sebenarnya tidak mempunyai kemerdekaan nasional yang sejati, melainkan malahan adalah suatu “hypo-colony[8] menggambarkan terganggunya rumah tangga Tiongkok itu dengan kata-kata:
    “Tatkala Tiongkok berdiri atas dasar politik yang sama dengan lain-lain bangsa, ia bisa bersaingan dengan merdeka di lapangan ekonomi dan sanggup dengan tidak membuat kesalahan mempertahankan dirinya sendiri. Tetapi baru saja bangsa-bangsa asing mempergunakan kekuasaan politik  sebagai tameng bagi maksud-maksud ekonomi, maka tiongkok pun kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan diri atau bersaingan dengan mereka dengan berhasil.”[9]
Dan sekarang, sesudah kemerdekaan nasional negeri Tiongkok itu makin lama makin teguh, maka ahli pikir Inggris H.C. Wells, menulis:
    “Pada zaman sekarang ini bisa jadi, bahwa lebih banyak tenaga otak yang baik dan lebih banyak orang yang sungguh hati bekerja untuk membikin modern dan menyusun kembali peradaban Tiongkok, daripada yang demikian itu kita jumpai di bawah pimpinan bangsa Eropa mana pun juga”.[10]
    Ref..






========================================================================
[1] Ibid hal 154
[2] Mustafa Kamil (1857-1908) seorang pemimpin nasionalis Mesir yang besar jasanya bagi perjuangan kemerdekaan.
[3] Manuel Quezon (1878-1944), salah seorang pejuang kemerdekaan Filipina, dan penulis buku “The Good Fight”.
[4] Michael daviit, seorang pemimpin Irlandia, dikutip dari buku Yann Morvran Goblet “L’Irlande dans la Crise Universalle” hal. 45 (terbitan F.Alcan, Paris 1918), hal.45.
[5] Erskine Childers, seorang pemimpin Irlandia lainnya, dikutip dari buku Simon Tery “En Irlande de la guerre” hal.101
[6] Guiseppe Mazani (1805-1872) pemimpin pemersatu Italia bersama Cavour dan Garibaldi. Buku yang dikutip “De Plichten Van den Mensch” hal. 171-179.
[7] Sister Nivedita, seorang penyair wanita Jepang. Ia menulis buku “Kaka-su Okakura” “Die Ideale des Osten” hal.8
[8] hypo-colony= negeri yang lebih jajahan dari jajahan.
[9] Sun Yat Sen (1866-1925) Bapak Kemerdekaan Tiongkok, pendiri Partai Kuo Min Tang dan pencetus “Trisila” (San Min Chu I) yang dibukukan dengan judul “San Min Chu I”. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
[10] H.G. Wells dalam bukunya “The Outline of History” hal. 464.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MARHAENISME

· Marhaen

Orang yang menderita lahir batin akibat kapitalisme , kolonialisme/ imperialism ,feodalisme atau system lainya yang menindas dan mengungkung

· Marhaenis

Orang yang berjuang untuk kaum marhaen dalam membebaskan diri dari semua sistim yang mengungkung dan menindas dan mewujudkan masyarakat marhaenis yang tidak saling menindas

MARHAENISME

Ajaran bung Karno secara keseluruhan

v Bung karno dengan pisau analisa historis materialism menganalisa kondisi masyarakat Indonesia sebagai komunitas social ,hidup disuatu wilayah geo politik hindia belanda dan tidak dapat mengaktualisasikan tuntutan budi nuraninya (Social Consience Of Man )

Karena Apa ……?

Tertindas oleh system yang menindasnya , kolonialisme / imperialism ,anak kapitalisme dan feodalisme bangsa sendiri

BK (Bung karno) mencetuskan ideology disebut marhaenisme dengan asas

- Sosio Nasionalisme

- Sosio Demokrasi

- Sosio KeTuhanan YME