Kamis, 09 Februari 2012

BUNG KARNO, DEMOKRASI & MILITOKRASI


  Oleh  HD. Haryo Sasongko
Pada saat situasi politik di negeri kita masih genting berkaitan
dengan tragedi yang terjadi pada 1 Oktober 1965 yang dikenal dengan 
sebutan G-30-S atau Gestapu (Bung Karno menyebutnya Gestok, Gerakan 
Satu Oktober), maka setelah keluarnya Supersemar (Surat Perintah 
Sebelas Maret 1966) sehari kemudian tidak hanya PKI dibubarkan, 
tetapi disusul dengan ditangkap dan ditahannya 15 orang menteri. 
Salah seorang di antaranya adalah Dr Soebandrio yang ketika itu 
menjabat sebagai Waperdam (Wakil Perdana Menteri) I yang kemudian 
dihadapkan pada sidang Mahmillub (Mahkamah Militer Luar Biasa) dan 
dijatuhi hukuman mati, kemudian diubah menjadi hukuman seumur hidup 
dan akhirnya dibebaskan.

Dalam sidang Mahmillub tersebut, bertindak sebagai oditurnya adalah 
Durmawel Achmad. Lebih dari 30 tahunan kemudian setelah keluarnya TAP 
MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tanggal 12 Maret yang berisi pencabutan 
kekuasaan Bung Karno sebagai presiden, tersebarlah informasi yang 
dimuat sebuah suratkabar mingguan yang menyajikan transkrip 
pemeriksaan oleh Durmawel Achmad atas diri Bung Karno sebagai saksi 
ahli dalam perkara Soebandrio, yang kemudian dikenal dengan 
sebutan "Dokumen Slipi" tahun 1968. Disebut demikian mungkin karena 
proses pemeriksaannya tidak dilakukan di depan sidang Mahmillub 
melainkan di Wisma Yasso Slipi, di mana Bung Karno menjalani tahanan 
rumah sampai meninggalnya.

Durmawel Achmad  sendiri menyatakan bahwa dokumen yang disebut-sebut 
merupakan kesaksian terakhir Bung Karno yang sudah tidak menjabat 
lagi sebagai presiden itu tidak pernah ada. Namun menurut A. Dahlan 
Ranuwihardjo, mantan anggota DPRGR dan MPRS, juga mantan Ketua Umum 
Pusat  HMI, "Dokumen Slipi" itu sahih dan benar adanya. Artinya, 
menurut keyakinan Dahlan Ranuwihardjo, Bung Karno memang benar-benar 
pernah menjalani pemeriksaan, hanya mungkin tidak diumumkan dan baru 
diketahui belakangan setelah berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang 
kemudian dipublikasikan oleh sebuah surat kabar mingguan yang terbit 
pada tahun 2000 di mana era reformasi mulai bergulir dan berbagai 
fakta sejarah yang semula tersembunyi (disembunyikan) mulai terungkap.

                                                                   * 
* *
Meskipun belum ada kejelasan apakah dokumen yang berupa transkrip 
tersebut sahih atau tidak sahih dan hanya hasil rekayasa pihak 
tertentu untuk melukiskan bahwa seolah-olah memang ada pemeriksaan 
atas diri Bung Karno (yang oleh Durmawel dipanggil Tuan Sukarno), 
namun dengan mengikuti susunan kalimatnya, juga alur pemikirannya, 
tampaknya dokumen tersebut memang asli merupakan ucapan Bung Karno. 
Lebih-lebih isi kesaksian dan pengakuan Bung Karno yang merasa 
bersalah karena kebijakan politiknya dengan Dekrit Presiden, 
Demokrasi Terpimpin dan sebelumnya telah membuka kran bagi 
keterlibatan kalangan militer dalam pengambilalihan perusahaan-
perusahaan Belanda menjadi perusahaan negara, di mana kalangan 
militer banyak yang duduk sebagai pengelolanya. Semua ini telah 
membuka jalan bagi munculnya militokrasi (kekuasaan militer).  

Ada beberapa hal pokok yang ditanyakan oleh Durmawel. Yang utama 
adalah apakah Tuan Soekarno itu pengikut paham komunisme atau tidak. 
Dan mantan presiden, murid HOS Tjokroaminoto, penggagas konsep 
Marhaenisme yang kemudian menjadi dasar ideologi PNI yang 
didirikannya itu dengan tegas menjawab dirinya bukan orang komunis 
tetapi memang mempelajari Marxisme dan sosialisme sejak masih kuliah 
di HBS (sekarang ITB). Orang yang berpaham Marxisme, tidak selalu 
berarti berpaham komunisme sebagaimana dikembangkan di masa Lenin 
sehingga menjadi Marxisme-Leninisme yang isi ajarannya disesuaikan 
dengan keadaan di Rusia, namun menurut Bung Karno tidak sesuai dengan 
kondisi sosial budaya Indonesia. 

Tetapi sebagai seorang nasionalis ia menampilkan gagasan nasakom 
(nasionalis, agama, komunis) karena secara konkrit ketiga golongan 
itu ada  dan perlu diajak bersama-sama secara gotong royong untuk 
membangun Indonesia sesuai dengan kondisi sosial budaya yang ada. 
Namun Bung Karno mengakui, golongan kom yang banyak memanfaatkan 
konsep nasakom ini untuk tampil lebih dominan. Bahkan Bung Karno 
sangat tidak senang dengan sikap para tokoh PKI, terutama Aidit yang 
dinilainya sombong dan ingin mendiktenya mentang-mentang merasa 
mempunyai massa. Sejumlah jenderal AD juga tidak menyukai 
perkembangan yang condong ke kiri ini. Namun baik para jenderal 
maupun mereka yang menentangnya, yang berpuncak pada tragedi 
penculikan dan pembunuhanterhadap para jenderal pada  1 Oktober 1965 
yang terutama pelakunya dari Tjakrabirawa (Untung) dan  Brigif Jaya 
Sakti (A. Latief), kesemuanya dianggap telah mengkhianati Bung Karno 
karena tidak pernah melapor.  Dengan uraian ini Bung Karno ingin 
menegaskan bahwa dirinya tidak tahu-menahu tentang G-30-S. 
Dan Bung Karno juga merasa dikhianati karena Supersemar yang 
dimaksudkan untuk memberi perintah kepada Jenderal Soeharto guna 
melakukan tugas administrasi di bidang keamanan malah disalahgunakan 
untuk mengambil tindakan politik sebagaimana sudah disebutkan. 
Padahal, itu bukan surat penyerahan kekuasaan (transfer of authority) 
sebagaimana diungkap dalam pidato terakhirnya 17 Agustus 1966 yang 
kita kenal disebut "Jasmerah" (Jangan sekali-sekali meninggalkan 
sejarah).

Namun di balik itu semua, Bung Karno mengakui bahwa kalangan militer 
mendapat peluang untuk mendominasi negeri ini sejak Dekrit Presiden 5 
Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945, 
pembentukan MPRS dan DPRGR, di mana sejumlah perwira militer, 
termasuk AH Nasution, duduk sebagai anggotanya. Dan dengan telah 
dilakukannya pengambilalihan perusahaan Belanda dijadikan perusahaan 
negara di mana banyak anggota militer juga menjadi pengelolanya, maka 
mulailah era militer berpolitik dan berbisnis.

Pihak-pihak yang tidak setuju dengan kecenderungan ini 
mengkhawatirkan bahwa Demokrasi Terpimpin justru akan menjurus 
tersingkirnya demokrasi dan melahirkan militokrasi. Dan Bung Karno 
dalam pemeriksaan itu akhirnya mengakui bahwa "kekhawatiran itu 
ternyata menjadi kenyataan. Supersemar telah dijadikan titik awal 
militokrasi dan ABRI menguasai segala bidang kehidupan dalam 
kenegaraan dan masyarakat. Saya keliru, saya salah. Kedaulatan harus 
dikembalikan pada rakyat".

                                                                  

Bung Karno tentu saja tidak tahu bahwa militokrasi kemudian berkuasa 
di negeri ini selama Orde Baru berkuasa tak kurang dari 32 tahun 
lamanya, bahkan di era reformasi yang mencoba mengakhiri militokrasi 
namun justru telah membuka peluang kembalinya militokrasi. Bung Karno 
dulu jatuh lewat kudeta merangkak, dan kini reformasi juga layu 
sebelum berkembang karena sedang menghadapi hal yang sama, 
menghadapi "kudeta merangkak" lewat partai-partai yang secara 
terselubung ingin mengembalikan kejayaan militokrasi.

Tetapi kembali pada pertanyaan awal, apakah "Dokumen Slipi" yang 
sudah berusia lebih dari 30 tahun yang sebagian uraiannya dipetik 
dalam tulisan ini benar-benar ada? Meskipun isinya memang   benar 
adanya? Tentu tugas para peneliti sejarah yang kompeten untuk 
menjawabnya, dalam rangka ikut mencerahkan sejarah bangsa, terutama 
sejarah proklamator kemerdekaan sekaligus  founding father kita yang 
satu ini.

                                                                  
(Penulis, pemerhati masalah sosial politik, terutama berkait dengan 
pelanggaran HAM)
REV:



Sumber: acak-corak.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MARHAENISME

· Marhaen

Orang yang menderita lahir batin akibat kapitalisme , kolonialisme/ imperialism ,feodalisme atau system lainya yang menindas dan mengungkung

· Marhaenis

Orang yang berjuang untuk kaum marhaen dalam membebaskan diri dari semua sistim yang mengungkung dan menindas dan mewujudkan masyarakat marhaenis yang tidak saling menindas

MARHAENISME

Ajaran bung Karno secara keseluruhan

v Bung karno dengan pisau analisa historis materialism menganalisa kondisi masyarakat Indonesia sebagai komunitas social ,hidup disuatu wilayah geo politik hindia belanda dan tidak dapat mengaktualisasikan tuntutan budi nuraninya (Social Consience Of Man )

Karena Apa ……?

Tertindas oleh system yang menindasnya , kolonialisme / imperialism ,anak kapitalisme dan feodalisme bangsa sendiri

BK (Bung karno) mencetuskan ideology disebut marhaenisme dengan asas

- Sosio Nasionalisme

- Sosio Demokrasi

- Sosio KeTuhanan YME