Ideologi perjuangan bagi golongan masyarakat yang dimiskinkan oleh sistem kolonoalisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme. Nyalakan terus obor kesetiaan terhadap kaum Marhaen! Agar semangat Marhaenisme bernyala-nyala murni! Dan agar yang tidak murni terbakar mati!
Sabtu, 28 Januari 2012
Generasi muda Wajib Meneruskan Revolusi yang Belum Selesai
G30S/SOEHARTO, BUKAN G3OS/PKI
G30S/SOEHARTO, BUKAN G3OS/PKI
Berikut adalah tulisan tokoh PKI Hasan Raid alm (dengan nama samaran Sulangkang Suwalu) yang berjudul « G30S/Soeharto, bukan G30S/PKI », dan disiarkan di berbagai mailing-list
Tulisan ini iambil dari apakabar@access.digex.net , 8 Agustus 1998
Betulkah PKI Terlibat G30S ?
Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI, Asvi W. Adam dalam tahun 2000 telah menulis untuk majalah TEMPO (Edisi 2-8 Oktober) artikel yang mengangkat pertanyaan penting (dan rumit) « Betulkah PKI terlibat G30S ? ». Bahan-bahan pemikiran yang dipaparkan dalam artikel tersebut (yang ditulis beberapa tahun sesudah rejim militer Suharto jatuh) menambah kemungkinan bagi kita untuk melihat G0S dari berbagai sudut pandang.
Tulisan ini memperkaya berbagai karya yang sudah dibuat oleh para sejarawan dan pengamat politik, dalam dan luar negeri, mengenai G30S, untuk kita jadikan renungan bersama.« SEJARAH, menurut E.H. Carr dalam buku teksnya What is History, adalah dialog yang tak pernah selesai antara masa sekarang dan lampau, suatu proses interaksi yang berkesinambungan antara sejarawan dan fakta-fakta yang dimilikinya. Jadi, tidak ada tulisan atau buku sejarah yang final. Bila ditemukan sumber atau fakta baru, buku sejarah yang lama bisa direvisi. Demikian pula halnya dengan kasus Gerakan Tiga Puluh September 1965 (G30S).
Setelah Soeharto berhenti menjadi presiden pada 1998 lalu, sudah terbit beberapa buku baru yang mengungkapkan hal yang selama ini kurang diketahui masyarakat. Misalnya buku Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999), dan pleidoi Kolonel A. Latief, Soeharto Terlibat G30S (2000). Di samping itu, telah terbuka pula berbagai arsip mengenai Indonesia tahun 1965/1966 di AS dan Inggris. Kedua jenis sumber di atas dapat dijadikan landasan untuk mempertanyakan kebenaran sejarah tentang peristiwa tersebut versi pemerintah Indonesia, yang menyebut pelaku utamanya adalah PKI dan Biro Chusus-nya.
Dalam bukunya, Latief mengungkapkan bahwa ia ditangkap tanggal 11 Oktober 1965. Ketika itu paha kanannya ditusuk bayonet dan lutut kirinya ditembak. Selama 10 tahun ia berada dalam sel isolasi yang dikunci dan baru diadili pada 1978. Dari rangkaian tekanan di dalam penjara atau ketika diperiksa dalam sidang Mahmilub, dapat dipertanyakan apakah pengakuan sebelum dan dalam sidang itu dapat dijadikan sumber sejarah yang layak dipercaya.
Hal serupa dialami oleh Sulami, Wakil II Sekjen Gerwani, seperti dituturkan dalam buku Perempuan-Kebenaran dan Penjara (1999). Wanita ini ditangkap pada 1967 dan baru diadili pada 1975. Antara lain ia dituduh memberikan barang berharga kepada keluarga Bung Karno di Istana Bogor. "Karena menolak tuduhan itu, interogator baju loreng marah dan memerintahkan algojo agar kedua jari kaki saya diinjak dengan sepatu tentara.... Dengan geram interogator bertanya, ‘Bagaimana? Ngaku tidak?’ Saya diamkan saja. Ia teriak, ‘Cambuk sepuluh kali.’ Algojo penginjak kaki mundur dan tukang cambuk maju dengan rotan belahan. Tiga malam saya mengalami keadaan itu...."
Kedua pengalaman di atas rasanya sudah cukup untuk meragukan validitas sumber yang dipergunakan dalam menyusun sejarah versi pemerintah Orde Baru. Selain itu, dapat dikatakan bahwa alasan utama untuk menyimpulkan bahwa PKI--sebagai organisasi--mendalangi G30S tidak kuat. Yang dipakai alat bukti adalah pengakuan Aidit sebanyak 50 halaman folio sebelum ditembak di Jawa Tengah, yang konon berbunyi, "Saya adalah orang yang mempunyai tanggung jawab tertinggi pada peristiwa 30 September 1965 dan disokong oleh penjabat PKI lainnya serta penjabat organisasi rakyat di bawah PKI" (Soegiarso Soerojo, 1988: 265). Apakah betul Aidit yang menulis surat pengakuan itu? Kalau benar ia mengaku, mengapa ia ditembak mati?
Selain itu, selama ini bukti utama lainnya adalah penerbitan Harian Rakyat tanggal 2 Oktober 1965. Dalam buku putih yang disunting oleh Alex Dinuth itu (1997), dicantumkan isi Harian Rakyat yang terdiri dari Pojok ("Gerakan 30 September sudah menindak Dewan Djenderal. Simpati dan dukungan rakjat di pihak Gerakan 30 September.") Tajuk surat kabar itu antara lain menyatakan, "Tetapi bagaimanapun djuga persoalan tersebut adalah persoalan intern AD. Tetapi kita rakjat jang sadar akan politik dan tugas-tugas revolusi mejakini akan benarnja tindakan jang dilakukan oleh Gerakan 30 September untuk menjelamatkan revolusi dan rakjat". Dimuat juga keterangan dari Anwar Sanusi (anggota Politbiro CC PKI) bahwa "Situasi ibu pertiwi dalam keadaan hamil tua" dan karikatur H.R. dengan kata-kata "Letkol Untung Komandan Bataljon Tjakrabirawa menjelamatkan Presiden dan RI dari coup Dewan Djenderal".
Pada tanggal 1 Oktober 1965 malam, Pepelrada Jaya melarang terbit semua harian yang terbit di Ibu Kota kecuali koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, yang memang diterbitkan pihak militer. Surat Perintah Pangdam V/Jaya (No. 01/Drt/10/1965) yang dikeluarkan Mayjen Umar Wirahadikumah berbunyi, "Dalam rangka mengamankan pemberitaan yang simpang-siur mengenai peristiwa pengkhianatan oleh apa yang dinamakan Komando Gerakan 30 September/Dewan Revolusi, perlu adanya tindakan-tindakan penguasaan terhadap media-media pemberitaan".
Menjadi tanda tanya mengapa Harian Rakyat yang jelas menjadi terompet PKI selama ini bisa terbit. Salah satu dokumen yang berasal dari Kedutaan Inggris di Jakarta (South-East Asia Department, Indonesia, D H 1015/218 10 Oct 1965) menyingkap keraguan tentang isi koran tersebut, apakah betul mewakili PKI. "My guess is that the editor took an unauthorised initiative." Apakah koran kiri sengaja dibiarkan terbit untuk menjebaknya? Atau sebaliknya, apakah tidak mungkin, bila isi Harian Rakyat tanggal 2 Oktober 1965 dipersiapkan oleh pihak lain.
Larangan terbit semua koran itu--meskipun hanya lima hari--sangat menentukan, karena informasi dikuasai dan dimonopoli oleh pihak militer. Ketakutan akan dibredel kembali menyebabkan semua media massa hanya menulis atau mengutip pemberitaan sesuai dengan keinginan pemerintah/pihak keamanan.
Kampanye tentang keganasan komunis dengan gencar dilakukan oleh kedua harian militer tersebut. Berita Yudha Minggu, 11 Oktober 1965, memberitakan bahwa tubuh para jenderal itu telah dirusak, "Mata dicungkil dan sementara itu ada yang dipotong kemaluan mereka." Sedangkan sukarelawan-sukarelawan Gerwani melakukan hubungan tidak senonoh dengan mayat para jenderal itu. Padahal, menurut visum dokter tidaklah demikian. Para korban itu meninggal dengan luka-luka karena tembakan atau terbentur dinding sumur di Lubang Buaya. Saskia Wieringa mencatat bahwa koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha menyiarkan kampanye sadistis sejenis ini secara teratur sampai bulan Desember 1965.
Informasi (atau lebih tepat disinformasi) itulah antara lain yang menyulut kemarahan rakyat dan akhirnya melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap mereka yang dicurigai sebagai anggota PKI. Kampanye untuk menghantam komunis ini mendapat dukungan penuh dari dunia Barat. Dalam dokumen dari pihak Inggris yang dialamatkan ke Singapura mengenai "Indonesian Disturbances" (D 1835, 6 Oct 1965) ditulis "Meanwhile we certainly do not exclude any unattributable propaganda or psywar activities which would contribute to weakening the P.K.I. permanently. We therefore agree with the recommendation in last sentence your paragraph 2. Suitable propaganda themes might be: P.K.I. brutally in murdering Generals and Nasution's daughter; Chinese interference in particular arms shipments; P.K.I. subverting Indonesia as agents of foreign Communists; fact that Aidit and other prominent Communists went to ground; the virtual kidnapping of Sukarno by Untung and P.K.I.; etc., etc. We want to act quickly while the Indonesian are still off balance, but treatment will need to be subtle."
Sebetulnya, kalau Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara RI tahun 1994 dibaca dengan seksama, bisa diperoleh kesimpulan yang tentu tidak diharapkan oleh pembuat buku tersebut. Dalam buku Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia itu terdapat indeks nama sebanyak 306 orang tokoh (pada 10 halaman). Kalau kita melihat daftar indeks itu terlihat bahwa kasus tersebut pada intinya menyangkut Presiden Sukarno (disebut 128 kali), dua tokoh PKI (Aidit dan Syam, 77 kali), dan dua kubu perwira ABRI (107 kali). Dalam "indeks kata penting", tiga kata yang paling sering muncul adalah 1)Gerakan Tiga Puluh September, 2) Dewan Revolusi, 3) Dewan Jenderal. Sedangkan kata "PKI" hanya disebut dua kali. Jadi, buku ini berbicara lebih tentang tokoh PKI (atau menurut istilah Orde Baru, oknum), yaitu Aidit dan Syam, ketimbang mengenai PKI sebagai sebuah organisasi sosial-politik.
Aidit memang Ketua PKI, tetapi dalam suratnya kepada Sukarno ia mengatakan bahwa "Tanggal 30 September tengah malam saya diambil oleh orang berpakaian Cakrabirawa (tidak saya kenal) dengan keterangan: dipanggil ke Istana untuk sidang darurat kabinet, tetapi kendaraan tersebut menuju ke jurusan Jatinegara. Kemudian pindah mobil terus menuju ke sebuah kampung dan ditempatkan di sebuah rumah kecil. Di situ saya diberi tahu bahwa akan diadakan penangkapan terhadap anggota-anggota Dewan Jenderal." (Soegiarso Soerojo, hlm. 262). Sedangkan Sjam sendiri dalam berbagai buku masih diragukan identitas aslinya, apakah ia agen PKI yang disusupkan ke kalangan Angkatan Darat atau sebaliknya, intel tentara yang menyamar di tubuh PKI, atau bisa juga ia merupakan agen ganda.
Mengenai G30S, penulis sendiri berpendapat bahwa mustahil peristiwa berdarah itu dirancang oleh pelaku tunggal, dan peristiwa tragis itu disebabkan oleh unsur internal (dalam negeri), didukung faktor eksternal (unsur asing). Tuduhan bahwa PKI menjadi dalang G30S sebagaimana dimuat dalam buku putih versi pemerintah Orde Baru dan diajarkan di sekolah-sekolah patut dipertanyakan kembali. Tanggal 1 Oktober 1965 malam, selain sebagai tanggal pembredelan pers yang pertama dalam sejarah Orde Baru, bisa pula dianggap sebagai awal upaya perekayasaan sejarah di Indonesia.
Saya tidak membantah perihal tindakan brutal oleh PKI dan ormasnya sebelum tahun 1965. Aksi sepihak yang dilancarkan oleh orang-orang komunis dalam mengampanyekan ketentuan land reform telah menimbulkan konflik sosial, terutama di pedesaan. Di bidang seni dan budaya terjadi pengekangan kebebasan bagi kelompok yang tidak mendukung Manipol, seperti yang dialami oleh Taufiq Ismail dan kawan-kawan. Aktivis organisasi Islam PII dipermalukan (seperti dalam insiden Kanigoro), HMI dituntut agar dibubarkan.
Namun, semua tindakan yang kasar itu telah dibalas dengan pembantaian terhadap paling sedikit 0,5 juta orang yang dicurigai sebagai penganut paham komunis di Indonesia. Rasanya, pembalasan itu sudah jauh dari setimpal. Seyogianya rekonsiliasi antara umat Islam dan orang-orang kiri dilakukan pada 1966. Tapi itu tidak dilakukan oleh rezim Orde Baru, yang malah sengaja mengawetkan masalah ini dan menjadikannya sebagai alat legitimasi sekaligus alat represi. »
“G-30-S dan Pembunuhan Massal 1965-66”
Sejarawan Hilmar Farid
Tapi ini tidak berarti bahwa kita bebas menafsirkan dan menulis sejarah. Ada prinsip dasar yang membatasi kebebasan tafsir sejarah: pijakan pada fakta atau kenyataan yang diketahui berdasarkan sumber informasi yang tersedia dan dapat diuji. Tidak semua keterangan mengenai masa lalu dapat dipercaya, dan sejarawan dibekali dengan metode dan prosedur ilmiah untuk memeriksa tingkat keterandalan bahan-bahan yang dihadapinya.
Kekacauan dalam debat mengenai Gerakan 30 September atau G-30-S bersumber dari pencampuradukan fakta, fiksi dan fantasi antara apa yang sesungguhnya terjadi dengan apa yang diceritakan atau dibayangkan/diharapkan orang telah terjadi. Di pusat kekacauan ini adalah penguasa Orde Baru yang menjadikan tafsirnya yang penuh dengan fiksi dan fantasi sebagai sejarah resmi yang tidak boleh dibantah. Orde Baru bersikeras mempertahankan tafsirnya mengenai peristiwa G-30-S karena semua tindakannya untuk menghabisi PKI – mulai dari menangkapi dan menghukum sebagian pemimpin dan membunuh ratusan ribu orang – bersandar pada sejarah resmi itu. Penulisan sejarah di sini terkait dengan legitimasi politik dan tanggung jawab hukum. Selanjutnya Orde Baru menggunakan tangan besi untuk menjadikan tafsirnya terhadap peristiwa G-30-S sebagai kebenaran umum. “Sejarah” yang dibuat oleh Orde Baru pun menjadi lebih penting dari masa lalu itu sendiri.
Sejarah resmi ini, seperti nasib sejarah resmi di mana pun, mendapat kritik dari banyak pihak yang kemudian menyusun versi alternatif. Walau memikat, ada masalah besar dengan versi alternatif ini. Para penulis versi alternatif ini biasanya lebih tertarik pada persoalan politik sejarah dan ingin mengimbangi atau menentang sejarah resmi, dan bukan pada masa lalu itu sendiri. Secara sadar maupun tidak mereka menerima medan pertempuran yang dibuka oleh sejarah resmi. Di jantung medan pertempuran ini adalah pertanyaan yang selalu kita dengar: siapa dalang G-30-S? Keterpakuan dan keterpukauan pada dalang inilah yang membuat seluruh pembicaraan G-30-S seperti berjalan di tempat.
Di sinilah John Roosa membuat sumbangan penting melalui Dalih Pembunuhan Massal karena keluar dari perangkap teori dalang ini. Ia tidak sibuk membantah atau membela versi tertentu, atau mencari-cari dalang, tapi melakukan hal yang sangat elementer dan fundamental sekaligus: membuat rekonstruksi G-30-S sebagai sebuah gerakan melalui keterangan mereka yang terlibat di dalamnya.
Dalang Tanpa Lakon
Terlepas dari kesimpulan akhir yang berbeda-beda, semua teori tentang dalang G-30-S berasumsi bahwa gerakan itu adalah persekongkolan politik yang direncanakan dengan baik, memiliki rencana yang jelas, dan berada di bawah garis komando. Sebagian mengatakan bahwa dalang itu adalah Soeharto dan komplotan Angkatan Darat yang dipimpinnya, sementara Orde Baru bersikukuh bahwa PKI adalah dalangnya dengan restu dari Presiden Soekarno. Sebagian lain mengatakan pemerintah Amerika Serikat, melalui dinas rahasianya CIA, adalah dalang yang dengan lihai memainkan anak wayangnya di Indonesia. Tidak semua teori mengenai G-30-S dilengkapi bukti-bukti dan karena itu pantas untuk diperhatikan secara serius. Sebagian malah lebih banyak memberi informasi tentang kesadaran dan psikologi politik penyusunnya daripada tentang gerakan itu sendiri.
Dalih Pembunuhan Massal berbeda dengan berbagai teori ini dalam hal yang sangat mendasar, yakni perangkat pertanyaannya. Jika yang lain meyakini bahwa G-30-S adalah sebuah persekongkolan jahat yang dirancang dan dimainkan dengan sangat lihai oleh “sang dalang”, maka Dalih Pembunuhan Massal justru menyoroti bahwa G-30-S sebenarnya sama sekali tidak tepat disebut sebagai gerakan. Dengan penelitian yang cermat terhadap rangkaian bahan yang belum pernah digunakan, dan penafsiran ulang terhadap bahan yang sudah pernah digunakan, ia mereka ulang perjalanan “gerakan” yang berusia singkat itu.
Ia menunjukkan bagaimana para pemimpin gerakan sebenarnya tidak pernah punya kesamaan pandangan dan sikap, apalagi rencana lain seandainya “rencana utama” (yang juga tidak jelas) gagal. Ia merekam bagaimana sebagian pemimpin bersikeras menekankan bahwa “kita tidak bisa mundur lagi” dan menutup diskusi dan perdebatan dengan otoritas. Dan setelah mereka yakin bahwa gerakan itu gagal pun tidak ada rencana penyelamatan yang jelas: semua pihak harus menyelamatkan diri masing-masing. Dengan kata lain, G-30-S sama sekali tidak punya script yang bisa dijadikan pegangan. Analisis Brigjen Supardjo yang menjadi salah dokumen andalan dalam buku ini – karena merupakan satu-satunya keterangan tangan pertama yang dapat diandalkan – dengan jelas menggambarkan kekacauan rencana dan pelaksanaan gerakan itu dari perspektif militer dan politik.
Adalah penguasa Orde Baru yang kemudian membuat script setelah panggungnya ditutup. Dalam studinya mengenai historiografi militer, Katharine McGregor (2007), menceritakan dengan rinci proses penulisan script oleh tim yang dibentuk Angkatan Darat di bawah pimpinan Nugroho Notosusanto. Buku pertama diterbitkan dalam 40 hari, yang menunjukkan betapa pentingnya perang tafsir untuk memaknai G-30-S ini bagi penguasa Orde Baru. Isinya jelas: PKI adalah dalang dari gerakan itu yang sebenarnya bertujuan menggulingkan pemerintahan yang sah.1 Buku kedua terbit tidak lama kemudian pada akhir 1965, ketika script pertama sudah digunakan oleh penguasa untuk melancarkan pemusnahan massal terhadap anggota, pendukung dan simpatisan PKI serta keluarga mereka.
Dalih Pembunuhan Massal tidak berpretensi dapat menjawab semua masalah. Malahan ada pertanyaan terpenting yang menjadi kunci untuk memahami G-30-S belum terjawab: siapa yang sebenarnya menyuruh pasukan-pasukan penculik membunuh para jenderal? Jika memang tujuan dari gerakan itu adalah menghadapkan para jenderal pemberontak kepada Soekarno, mengapa mereka dibunuh? Roosa mengakui keterbatasannya dan mengatakan, “siapa tepatnya yang membunuh para perwira itu masih belum diketahui.” (hlm. 60). Lembar-lembar misteri G-30-S dengan begitu belum sepenuhnya terungkap, dan hanya penelitian yang mendalam terhadap bukti-bukti – dan bukan dugaan atau khayalan yang berdasar pada keyakinan tentang adanya dalang – yang dapat membantu menyingkap misteri ini.
Dua Peristiwa Berbeda tapi Terkait
Judul buku ini, Dalih Pembunuhan Massal, memperlihatkan hubungan antara peristiwa G-30-S dengan pembunuhan massal terhadap anggota, simpatisan dan pendukung PKI dan organisasi gerakan kiri. Penguasa ORBA selama ini menjelaskan pembunuhan massal sebagai “ekses” karena masyarakat marah melihat pengkhianatan PKI. Seolah-olah reaksi terhadap PKI adalah sesuatu yang wajar/alamiah karena perilaku PKI sendiri. Dalih Pembunuhan Massal dengan cermat memisahkan antara apa yang kita ketahui telah terjadi berdasarkan bukti-bukti yang ada dengan segala teori, tafsir dan juga fantasi mengenai peristiwa itu. Pembunuhan massal dengan begitu bukan sebuah konsekuensi logis dari apa yang sesungguhnya terjadi, tapi reaksi langsung terhadap script yang disusun oleh penguasa Orde Baru.
Ben Anderson (1987) menulis artikel di jurnal Indonesia yang diterbitkan Universitas Cornell dengan judul “Bagaimana Para Jenderal itu Tewas?” berdasarkan visum et repertum yang dibuat oleh tim dokter yang ditunjuk oleh Soeharto. Visum itu bertolak belakang dengan berita-berita yang dimuat dalam harian Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha – yang dikelola oleh Angkatan Darat – bahwa para jenderal yang diculik pada dini hari 1 Oktober 1965 mengalami penyiksaan keji seperti pencungkilan mata dan pemotongan alat kelamin. Visum itu jelas memperlihatkan bahwa tidak ada mata yang dicungkil dan semua kemaluan utuh pada tempatnya. Pertanyaannya, mengapa Angkatan Darat tidak mengumumkan kebenaran itu melalui media yang dikontrolnya, dan justru membiarkan cerita-cerita yang tidak benar memenuhi halaman-halamannya?
Kita juga tahu dari kesaksian dan keterangan mereka yang terlibat dalam pembasmian PKI bahwa “kemarahan” massa yang seolah tidak bisa dikontrol sebenarnya adalah reaksi terhadap berita-berita yang tidak benar dan diketahui tidak benar oleh mereka yang menerbitkannya. Sampai sekarang belum diketahui peran dari tim Angkatan Darat yang menyusun script tentang G-30-S dalam fantasi tentang kekejaman di Lubang Buaya ini. Hal ini juga merupakan misteri yang masih harus diselidiki karena akibatnya yang luar biasa. Di mana-mana pejabat militer berpidato tentang “kekejaman” G-30-S yang tidak pernah terjadi dan menuntut balas dengan membunuh sebanyak mungkin orang komunis.
Tapi penyulut reaksi massal yang paling penting adalah pernyataan bahwa jika PKI menang dan G-30-S berhasil maka banyak orang non-komunis, apalagi anti-komunis, akan diperlakukan sama seperti cerita Angkatan Darat mengenai kekejaman di Lubang Buaya (yang tidak pernah terjadi). Di banyak tempat beredar daftar orang yang akan akan dihabisi oleh PKI seandainya G-30-S berhasil: pemimpin agama, tokoh politik, pemuda dan mahasiswa. Dalam banyak wawancara, termasuk dengan mereka yang terlibat dalam aksi kekerasan terhadap orang kiri, terungkap bahwa daftar itu diumumkan oleh pemimpin militer yang “menemukannya” di kantor PKI atau organisasi massa kiri. Bersamaan dengan itu kadang “ditemukan” juga senjata api, uang dalam jumlah luar biasa, timbunan makanan, dan yang paling menghebohkan alat pencungkil mata, yang di banyak daerah penghasil karet lebih dikenal sebagai alat penyadap getah karet.
Aksi kekerasan dan pembunuhan massal karena ini bukanlah reaksi alamiah terhadap “kekejaman” G-30-S, tetapi terhadap representasi atau script yang ditulis oleh Orde Baru mengenai peristiwa itu. Cerita-cerita bohong tentang kekejaman di Lubang Buaya itulah yang membuat orang kemudian mengambil tindakan. Tapi tentu itu tidak cukup. Di banyak tempat kita tahu bahwa pembunuhan massal disulut langsung oleh pasukan militer, dan di beberapa tempat tidak akan terjadi seandainya tidak dipimpin oleh militer.
Dengan kesimpulan ini saya tidak hendak menggambarkan PKI sebagai domba dan militer, AS dan siapa pun yang terlibat dalam kampanye fitnah dan pembunuhan massal sebagai serigala. Saya juga tidak ingin mengatakan bahwa pembunuhan terhadap para perwira di Lubang Buaya dapat dibenarkan. PKI memang berniat menguasai negara, seperti juga partai politik yang lain. Di daerah-daerah banyak kadernya yang aktif dan menurut cerita yang saya dengar, juga sangar dan kadang mengintimidasi orang yang tidak sepaham. Demonstrasi PKI dan ormas kiri biasanya sangat ramai dan juga menakutkan bagi mereka yang menjadi sasarannya. Aksi-aksi sepihak untuk menegakkan UUPA 1960 yang dilancarkan BTI (dan sebenarnya organisasi petani lain juga) memang kadang disertai bentrokan, mirip dengan apa yang kita saksikan setiap hari di televisi sekarang ini. Tapi semua itu tidak dapat menjelaskan mengapa pembunuhan massal terhadap orang PKI terjadi setelah Oktober 1965.
Jika pembunuhan massal tidak dapat dilihat sebagai reaksi alamiah terhadap G-30-S, tapi sebagai tindakan yang disulut oleh script karangan Angkatan Darat, maka kita juga tidak dapat melihat pembunuhan itu sebagai konflik antara PKI dan kekuatan politik lainnya. Tidak ada pertempuran antara dua pihak seperti layaknya sebuah konflik. Di beberapa tempat orang dengan sukarela pergi ke tempat-tempat penahanan untuk “mengklarifikasi” posisi mereka terhadap G-30-S, tapi tetap ditahan. Pembunuhan massal sepenuhnya merupakan orkestrasi dari penguasa militer yang juga melibatkan elemen sipil di dalamnya. Masalahnya, dalam script karangan penguasa Orde Baru, keterlibatan elemen sipil ini menjadi “bukti” bahwa kemarahan terhadap PKI adalah sesuatu yang genuine tumbuh dari bawah, dan bahwa peran tentara dalam semua urusan ini justru menyelamatkan negara dari kehancuran. Teringat pepatah, “sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.”
Dalih Pembunuhan Massal menegaskan hal yang sangat penting, bahwa G-30-S disalahtafsirkan secara sengaja, dipelintir dan dihadirkan kembali secara salah pula agar menjadi dalih untuk melancarkan operasi pembasmian yang menjadi salah satu kengerian terbesar dalam sejarah modern dunia. Walau masih ada beberapa lubang dan misteri yang belum terungkap, karya John Roosa ini sudah memberikan tilik-dalam yang baik tentang G-30-S sebagai sebuah gerakan. Tentu tidak dapat dikatakan sebagai karya final. Tapi jika masih ada “teori dalang” lain yang muncul berdasarkan dugaan dan desas-desus, maka itu hanya mungkin dilakukan dengan resiko mempermalukan diri sendiri dan menunjukkan ketidaktahuan tentang apa yang sudah diketahui luas. Setiap penulisan sejarah yang serius akan mempertimbangkan dengan serius apa-apa yang sudah diketahui dan ditulis sebelumnya. Tulisan tentang masa lalu yang disusun berdasarkan fantasi atau khayalan dan desas-desus karena itu tidak layak mendapat perhatian serius.
1 Belakangan para penulis script Orde Baru melawan keterangan mereka sendiri dengan memasukkan Soekarno sebagai tokoh antagonis yang mendukung G-30-S untuk menggulingkan pemerintahannya sendiri.***
* Versi awal makalah ringkas ini disampaikan dalam diskusi buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Roosa, yang diselenggarakan di kampus Universitas Sanata Dharma, Jogjakarta, 31 Maret 2008. Setelah diskusi itu saya memperbaikinya dengan masukan dan komentar dari para peserta diskusi.
Peristiwa G30S, Apa dan Bagaimana? (2)
(Penggalian dan analisa pribadi-bagian 2)
Oleh : Y.T. Taher, mantan Tapol, sekarang tinggal di Australia
Seandainya tidak, maka rapat gelap itu akan diusut, dan yang paling terbukti adalah Kolonel dr Suhardi, sedang Suharto tidak terbukti tersangkut karena Suharto menjadi ‘Mr Alibi’. Masalah tersebut dicatat juga oleh Ali Murtopo yang ketika itu Kapten dan Komandan Raiders yang diminta Yoga Sugomo untuk melakukan operasi intelijen soal pencalonan Suharto (Yoga Sugomo 1990:20-30). Selanjutnya Yoga Sugomo mencatat bahwa rapat di Kopeng itu dihadiri oleh Sudarmo Djojowiguno, Suryo Sumpeno, Surono, Pranoto, Suwito Haryoko (Asisten II), Suwarno (Asisten IV), dan Munadi (AsistenV). Ia dan Mayor Suryo Sumpeno berangkat ke Jakarta menemui Kolonel Zulkifli Lubis di MBAD untuk menggagalkan pencalonan Bambang Supeno dan menggantinya dengan Suharto. Usaha mereka berhasil (Yoga Sugomo 1990:80-82).
Inilah trio pertama Suharto-Ali Murtopo-Yoga Sugomo. Trio ini pula kelak melakukan usaha-usaha menikam politik konfrontasi Presiden Sukarno dengan penyelundupan ke Malaysia dan Singapura serta kontak-kontak politik gelap dengan pihak Malaysia melibatkan tenaga militer, politisi sipil anti komunis, pengusaha. Kontak-kontak trio ini di lapangan melibatkan Ali Murtopo, Benny Murdani, AR Ramly, selanjutnya di Malaysia dengan Des Alwi, Prof Sumitro (Yoga Sugomo 1990:139; Hanafi 1998:206).
Trio ini pula kemudian menangani peristiwa G30S. Pagi-pagi pada 1 Oktober 1965 sebelum orang lain mengetahui keadaan yang sebenarnya, Kolonel Yoga menyatakan, “…Ini mesti perbuatan PKI…”. Selanjutnya, “Siapkan semua penjagaan, senjata, bongkar gudang. Ini PKI berontak”. Selanjutnya Letkol Ali Murtopo mencatat, “…berdasar penjelasan Pak Yoga kepada Pak Harto, maka kita bertiga kumpul lagi di ruang Pak Harto. Disini kita tentukan lagi nasib bangsa selanjutnya” (Yoga Sugomo 1990:37,148). Yang dimaksud Ali Murtopo dengan kata ‘lagi’ dalam “Di sini kita tentukan lagi nasib bangsa selanjutnya”, bahwa komplotan semacam itu telah pernah mereka lakukan sebelumnya ketika merancang operasi intelijen perebutan jabatan Panglima Diponegoro untuk Suharto seperti tersebut di atas. (Harsutejo)
Persoalannya dilaporkan kepada Letkol Pranoto Reksosamudro yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Staf Diponegoro, bawahan Suharto. Maka MBAD membentuk suatu team pemeriksa yang diketuai Mayjen Suprapto dengan anggota S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo. Langkah ini diikuti oleh surat perintah Jenderal Nasution kepada Jaksa Agung Sutarjo dalam rangka pemberantasan korupsi untuk menjemput Kolonel Suharto agar dibawa ke Jakarta pada 1959. Ia akhirnya dicopot sebagai Panglima Diponegoro dan digantikan oleh Pranoto, namun tidak diajukan ke depan pengadilan, namun disekolahkan di SESKOAD Bandung.
Suwarto sendiri pernah menempuh pendidikan Infantry Advance Course di Fort Benning pada 1954 dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth, AS pada 1958. Ia bersahabat dengan Prof Guy Pauker, konsultan RAND (Research and Development Corporation) yang dikunjunginya pada 1963 dan 1966. Suwartolah yang menjadikan Seskoad sebagai think tank politik MBAD, mengarahkan para perwira AD menjadi pemimpin politik potensial (Sundhaussen 1988:245/Harsutejo).
Y. Pohan dalam tulisannya mengatakan: “Soeharto sesungguhnya sangat berkepentingan atas tindakan yang diambil oleh Letkol. Untung. Untung bersama kawan-kawannya bertindak terhadap sejumlah jenderal pada tanggal 30 September malam itu. Karena jenderal-jenderal itu adalah rival-rival Soeharto, khususnya Jenderal A. Yani, rival utama yang dianggap sebagai penghalang utama untuk memperoleh kedudukan tertinggi dalam AD. Bukanlah rahasia umum lagi waktu itu di kalangan perwira-perwira AD bahwa Soeharto merasa sangat tidak puas dengan diangkatnya Jenderal A. Yani sebagai Pangad. Putusan Presiden Soekarno mengangkat Jenderal A. Yani tidak bisa diterima oleh Soeharto, karena sebagai perwira TNI ia merasa dirinya lebih senior”..
Peranan AS/CIA
DALAM situasi yang demikian, Marshall Green, Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta pada tanggal 5 Oktober 1965, mengirim telegram Nomor 868 yang ditujukan kepada Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, menyatakan:
“Inilah saat yang tepat untuk mengenyahkan komunisme dari Indonesia. Namun bantuan harus secara diam-diam”, “Army now has opportunity to move against PKI if it act quickly……Momentum is now at peak with discovery of bodies of murdered army leaders. In short, it’s now or never…”
Selanjutnya, Green memberikan beberapa panduan tentang sikap AS/CIA: *Hindari keterlibatan yang terang-terangan karena seiring berkembangnya perebutan kekuasaan. *Secara sembunyi, sampaikan dengan jelas kepada tokoh-tokoh kunci di ABRI seperti Nasution dan Soeharto tentang keinginan kita membantu apa yang kita bisa, sementara di saat bersamaan sampaikan kepada mereka asumsi kita bahwa kita sebaiknya menjaga agar setiap bentuk keterlibatan atau campur tangan kita tidak terlihat. Pertahankan dan jika mungkin perluas kontak kita dengan militer. *Sebarkan berita mengenai kesalahan PKI, pengkhianatan dan kebrutalannya (prioritas ini mungkin paling membutuhkan bantuan kita segera, yang dapat kita berikan kepada ABRI jika kita menemukan jalan untuk melakukannya tanpa diketahui bahwa hal itu merupakan usaha AS) … Spread the story of PKI’s guilt, treachery dan brutality (this priority effort is perhaps most—needed immediate assistance we can give army if we can find way to do it without identifying it as solely or largely US effort).”( Rita Uli Hutapea, Misteri CIA di Seputar G30S, detik.com, 08/8/2001. )
Ternyata, “panduan” Duta Besar AS/CIA, Marshall Green itu, terutama perihal menyebarluaskan “kesalahan PKI, pengkhianatan dan kebrutalannya”, serta penghancurannya, menjadi garis utama para perwira Angkatan Darat, yang kemudian menjadi panutan dan policy Angkatan Darat dan pemerintahan militer. Hal ini terbukti, sebagaimana yang dikatakan Duta Besar Green dalam telegramnya “prioritas ini membutuhkan bantuan kita segera … tanpa diketahui bahwa hal itu merupakan usaha AS … secara sembunyi sampaikan dengan jelas kepada tokoh-tokoh kunci di ABRI seperti Nasution dan Soeharto tentang keinginan kita … seiring dengan berkembangnya perebutan kekuasa-an….”
Pada tanggal 5 Oktober itu juga, Phoenix Park Singapore (Kedutaan Inggris) mengirim telegram ke Departemen Luar Negeri di London, yang berbunyi: “….we should have no hesitation in doing what we can surreptitiously to blacken the PKI in the eyes of the people of Indonesia.” (Wiyanto Rahman, S.H., dalam Sarasehan Leuven Belgia: Peristiwa G30S dalam Tinjauan Ulang, http://arus.kerjabudaya.org/htm/1965_Seminar_Leuven.htm )
Dengan nada dan irama yang sama, hal tersebut diperjelas dalam rapat para jenderal militer di Kostrad pada tanggal 5 Oktober 1965 yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto dan Jenderal A.H. Nasution, yang menghasilkan panduan perihal pelaksanaan dari rencana penghancuran PKI. (Robinson, p.283, n.25). Tanggung jawab atas rencana dan segala cara-cara pelaksanaan operasi militer ini diakui dengan bangga oleh Jenderal Soeharto, melalui pernyataan yang tertulis dalam bukunya Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 1989, halaman 136, yang berbunyi: “Sejak menyaksikan … apa yang didapat di Lubang Buaya, kegiatan saya yang utama adalah menghancurkan PKI, menumpas perlawanan mereka di mana-mana, di ibukota, di daerah-daerah, dan di pegunungan tempat pelarian mereka….”
Semenjak “ucapan” Soeharto, Pangkostrad yang mengangkat dirinya menjadi Pangad, dan bertekad untuk menghancurkan dan menumpas PKI, yang menjadi panutan dan policy militer (penguasa/pemerintah), maka pasukan-pasukan Angkatan Darat, terutama pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, menggalang milisi-milisi terutama dari organisasi-organisasi keagamaan seperti Banser NU, Pemuda Muhammadiyah, untuk memusnahkan anggota, simpatisan, bahkan anggota keluarga yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Para pemuda dipersenjatai, dilengkapi dengan alat komunikasi dan transportasi, dan didorong untuk melakukan tindakan-tindakan keji dan brutal terhadap orang-orang yang masih belum jelas apa salahnya, dan tidak tahu apa yang terjadi di Jakarta. Banyak korban jatuh justru setelah mereka diwajibkan melapor dan ‘diamankan’ di kantor-kantor polisi, militer atau institusi-institusi negara lainnya, seperti kecamatan atau kelurahan dan kemudian, tanpa diadili, dengan berbagai cara, dibunuh begitu saja.
Telegram Green, Duta Besar AS di Jakarta ke Washington tanggal 20 Oktober mengatakan: “Beberapa ribu kader PKI dilaporkan telah ditangkap di Jakarta … beberapa ratus di antaranya telah dibunuh. Kami mengetahui hal itu … pimpinan PKI Jakarta telah ditangkap dan barangkali telah dibunuh…. RPKAD tidak mengumpulkan tawanan, mereka langsung membunuh PKI.”
Green melanjutkan: “pembersihan oleh AD berlanjut di kampung dan tempat-tempat lain di daerah Jakarta. Pemuda Muslim “membantu” mengawani pasukan militer. Sumber mengatakan “beberapa” pembunuhan merupakan hasil dari pembersihan ini. Fakta lebih jauh tentang hubungan militer dengan kumpulan yang terorganisir dalam kampanye anti PKI ini, dapat dilihat dari pertemuan antara Kolonel Ethel (CIA) dan pembantu dekat Jenderal Nasution, yang mengatakan bahwa demonstrasi anti PKI akan meningkatkan pengganyangan menjadi anti Tionghoa. Dan perusakan dan pendudukan kantor perdagangan Kedutaan Tiongkok di Cikini, bukan dilakukan oleh AD akan tetapi oleh “mereka yang bertindak untuk kita”, yaitu Muslim dan Ansor. Hanya 3 bulan semenjak kampanye anti PKI, CIA melaporkan: “Hampir semua anggota Politbiro PKI ditangkap, banyak di antara mereka telah dibunuh, termasuk tiga pimpinan tertinggi partai. Berita besar hari ini, adalah: ditangkap dan dibunuhnya Ketua PKI D.N. Aidit. Sedang pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI di Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, terus berlangsung….” Bagi AS dan sekutunya, keberhasilan Angkatan Darat Indonesia menghancurkan PKI adalah merupakan suatu kemenangan besar.” Demikian Marian Wilkinson menulis dalam Sydney Morning Herald, 10 Juli 1999.
Pembunuhan massal berkelanjutan, bukan saja di pulau Jawa namun di seluruh pelosok tanah air, nyawa-nyawa tak berdosa dibunuh karena dianggap PKI atau simpatisan PKI. Para korban dibunuh tanpa perikemanusiaan.
American Free Press menulis: “In Aceh, for example, the civilian were ‘decapitated and their heads were placed on stakes along the road’. The bodies often repeatedly slashed with knifes or sword. Then thrown into the river that they would not ‘contaminate Aceh soil’.” ; Di Surakarta Tangan dan kaki korban diikat direl kereta api dan dibiarkan sampai kereta api melindas hancur tubuh2 itu.(http://www.timrelawan.org) ; Kaki/badan korban diikat kepohon, dan kepala/leher diikat dengan kawat waja dan ditarik dengan mobil/truk, hingga kepala tercabut dari badan/leher . (Film documenter ABC-TV Australia - Riding the Tiger part3); Korban disembelih, ditusuk dengan pisau panjang ditengah ramai atau ditembak dan ditolak kedalam lubang yang mareka buat karena perintah atau dikubur hidup-hidup. Di Pasuruan, bahkan yang melakukan pemenggalan adalah seorang wanita. (lihat film documenter: Shadow plays dan film Riding the Tiger ); Para korban dibunuh dengan sadis dan diklelerkan saja dipinggir jalan,dibawah pohon, dan dilempar kesungai seperti bangkai anjing ( ucapan Sukarno tgl 18 Desember 1965- didepan HMI di Bogor- http://www.tokohindonesia.com); Di Bali para tahanan diambil dan dibunuh ada yang ditembak, belum mati lantas dibuang ke lubang dan ditimbun, bahkan ada yang tubuhnya dicincang dan dipotong-potong, leher, kaki dan tangan dicerai-beraikan; Di Sumbar, korban (gadis SMP) dimaukkan ke dalam karung hidup-hidup dan dilempar kesungai, dibiarkan menggelepar dan mati dalam karung; lain korban diikat kepala dan kaki didua buah pedati dan ditarik berlawanan arah hingga tubuh korban berkecai; korban dimuat kedalam dump truk dan dituangkan kejurang terjal yang dalam hingga semua mati; Mengikat korban dan memaku telinganya tembus dari kiri ke kanan dengan paku besar panjang lebih dari 6 inci yang biasa digunakan sebagai paku untuk bantalan rel kereta api, sehingga si korban melolong-lolong dan mati bersiram darah!; Mengikat dan mengampak putus leher si korban di depan anak dan istrinya, sehingga mereka basah bersiram darah ayah atau suaminya yang dengan kejam dihabisi nyawanya, seperti yang terjadi atas Ketua SBPP di Kupang, Nusa Tenggara Barat; Bahkan korban yang menjadi tapol yang tidak sedikit jumlahnya, diambil malam ( istilahnya di “bon”), dibunuh dan tidak diketahui dimana dikuburkan.
Tentang pembunuhan massal ini Harsutejo menulis: Prof Teuku Jacob mendaftar ulah kekejaman manusia dengan kata-kata lugas yang cukup mencengangkan. Penyiksaan dan penganiayaan tahanan dan tawanan menunjukkan kebengisan yang tak terbayangkan, mulai dari mencambuk, mencabut kuku, menjepit ibu jari, melilit tubuh, membakar bagian badan, menyiram cairan panas, menjepit daging dengan jepitan membara, memotong urat, membuang, memperbudak, memenggal kepala, menggantung, melempar dari tempat tinggi, mencekik, membenamkan, mengubur hidup-hidup, mencincang, sampai membunuh atau memperkosa anggota keluarganya di depan mata, menjemur, tidak memberi makan, menyeret dengan kuda, membakar dalam unggun api, dan sebagainya... sebagian besar dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri.
Begitu sulit dipercaya bahwa ulah kekejaman semacam itu dilakukan juga oleh rezim militer Orde Baru terhadap musuh politik mereka atas nama suatu gagasan yang begitu tinggi dan mulia, yakni Pancasila! Malahan rezim ini masih menggenapi khasanah penyiksaan dan pembunuhan dengan penemuan baru mereka: memasukkan tahanan politik hidup-hidup ke dalam luweng atau sumur alam yang amat dalam, memasukkan ke dalam kapal bobrok dan menenggelamkannya, meneggelamkan hidup-hidup tahanan dengan beban besi atau batu, menyiram gua dan ruba tempat persembunyian dengan bensin dan membakarnya serta melemparkan alat peledak, menyetrom kemaluan laki perempuan ketika mereka dipaksa bersetubuh, menancapkan bambu runcing ke dalam vagina, dan tindakan keji lain yang sulit diterima akal sehat dan akal normal dan sulit dipercaya oleh masyarakat beradab. Dan hebatnya rezim ini berusaha keras untuk menghapusnya dari memori orang banyak dengan segala macam cara termasuk memalsu sejarah dan menggantinya dengan memori rekayasa
Robert J Martens, seorang agen CIA dengan jabatan Perwira Politik pada Kedubes Amerika di Jakarta telah berhasil menyusun dan mempersiapkan daftar terpilih terdiri atas 5.000 orang kader PKI dari tingkat pusat sampai pedesaan beserta organisasi massanya dengan rincian jabatannya. Daftar itu dibuat selama dua tahun (1963-1965) dengan bantuan para pegawai CIA sebagaimana yang dibenarkan oleh Joseph Lazarsky, Deputi Kepala CIA di Jakarta. Selanjutnya diadakan kesepakatan dengan perwira intelijen Kostrad Ali Murtopo, secara berkala yang bersangkutan melaporkan siapa-siapa dari daftar itu telah ditangkap dan siapa-siapa telah dibunuh. Kostrad menjadi pusat pemantauan terhadap laporan pihak militer dari seluruh penjuru tentang penangkapan dan pembunuhan terhadap kaum komunis dan golongan kiri lain. Demikian tulis Cathy Kadane dalam San Fransisco Exeminer, 20 Mei 1990.
Penghancuran terhadap PKI dan seluruh gerakan kiri pertama-tama adalah membasmi secara fisik para anggota dan pendukungnya. Basmi sampai akar-akarnya, itulah yang terus-menerus diserukan baik oleh Jenderal Suharto maupun Jenderal Nasution serta para pengikutnya. Kekuasaan, dan segalanya ada di bawah laras senapan.
Dari Wikipedia kita baca: “Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. (Wikipedia)
TEAM pencari fakta yang dibentuk oleh Bung Karno mencatat laporan resmi para penguasa, antara 80.000—100.000 jiwa telah menjadi korban di Jawa dan Bali. Tetapi di balik itu, para penguasa sendiri menduga korbannya 10 kali lebih besar dari yang mereka laporkan.
Dr. Robert Cribb, dosen sejarah pada Universitas Nasional Australia di Melbourne, memperkirakan jumlah korban berkisar antara 78.000 hingga 2 juta jiwa.
John Hughes dalam bukunya “Indonesian Upheaval” (1967), memprediksikan antara 60.000 hingga 400.000 orang.
Donald Hindley, dalam tulisannya, “Political Power and the October Coup in Indonesia” (1967), memperkirakan sekira setengah juta orang.
Prof. Guy Pauker, agen CIA yang sangat dikenal dan tidak asing lagi di Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat), dalam tulisannya “Toward New Order in Indonesia” memperkirakan 200.000 orang yang dibunuh.
Yahya Muhaimin dalam bukunya Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945—1966, memprediksikan sekira 100.000 orang.
Ulf Sundhaussen, dalam bukunya The Road to Power: Indonesian Military Politic 1945—1967 (1982), khusus untuk Jawa Barat, tanpa menyebut angka, mengatakan bahwa dari seluruh anggota komunis yang dibunuh di Jawa barat, bisa jadi hampir seluruhnya dibantai di Subang.
Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, Komandan RPKAD, pembunuh berdarah dingin yang melakukan pembersihan di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, kepada Panitia Pencari Fakta, mengaku “telah membunuh 3 juta komunis”.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan dan bekas tapol dari Pulau Buru, dalam ucapannya sebelum meninggal dunia, yang direkam dalam film dokumen “Shadow Play” mengatakan: “Sampai sekarang tidak jelas berapa jumlahnya yang dibunuh. Soedomo [Kopkamtib] mengatakan 2 juta yang dibunuh, Sarwo Edhie [RPKAD] mengatakan 3 juta yang dibunuh. Yang jelas tidak ada yang tahu sampai sekarang.”
Presiden Amerika Serikat Barack Obama, ketika masih menjadi senator, dalam satu tulisannya mengatakan: “In 1965, under the leadership of General Suharto, the military moved against Sukarno, and under emergency powers began a between 500.000 and one million people were slaughtered during the purge, with 750.000 others imprisoned or forced to exile.”
Sedang Bertrand Russel, pemikir besar liberalisme, menyebut pembunuhan massal ini sebagai hal yang amat mengerikan yang mustahil bisa dilakukan oleh manusia. (Perang Urat Syaraf…Kompas, 9 Februari 2001). “Dalam empat bulan, manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah korban perang Vietnam selama 12 tahun.” (“In four months, five times as many people died in Indonesia as in Vietnam in twelve years.”)
And, last but not least, Hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta, yang lebih dikenal sebagai Komisi Lima yang dipimpin oleh menteri dalam negeri saat itu, Mayjen. Dr.Soemarno, dengan anggota-anggota: Moejoko (Polri), Oei Tjoe Tat, S.H., Mayjen. Achmadi (eks. Brigade.XVII/TP), dan seorang lagi tokoh Islam, menyebut bahwa jumlah korban pembunuhan yang dilakukan atas perintah Soeharto sekitar 500.000 orang. Bahkan menurut pengakuan mendiang Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Panglima RPKAD, kepada Permadi, S.H., jumlah yang dibunuh mencapai sekitar 3.000.000 orang. “Itu yang ia suruh bunuh dan ia bunuh sendiri,” kata sumber itu.
Dengan begitu banyaknya jumlah manusia Indonesia yang dibantai oleh Angkatan Darat atas arahan, perintah ataupun persetujuan Suharto waktu itu, apakah kita mesti lupakan? Berapa puluh juta sanak saudara, “udek-udek gantung siwur dan canggah wareng” dari korban yang yang dibantai AD itu? Mestikah kita lupakan mereka itu begitu saja dan menganggap bahwa membicarakan nasib mereka sebagai “tidak produktif”?. Akankah kita kubur sejarah hitam itu ke lautan dalam, sehingga generasi bangsa selanjutnya mudah ditipu dan diperbodoh dengan sejarah rekayasa dan tipuan licik? Hersri Setiawan, seorang mantan tapol Pulau Buru dalam satu tulisannya mengatakan“…..rezim Orba memutlakkan versi sejarahnya tentang Peristiwa ’65, dengan cara menggelapkan dan membelokkan fakta. Generasi pasca-65 dipaksa menelan mentah-mentah tanpa tanya!” Itu sebabnya, tidak heran banyak diantara generasi muda kendatipun sudah menjadi sarjana sejarah Indonesia namun pikirannya sudah tercuci dan terkontaminasi dan tetap mengikut serta menganut sejarah rekayasa Suharto dan kliknya yang dimutlakkan, sehingga tanpa mendalami lebih jauh, menjadi sesumbar dan berteriak “…..Pembunuhan, penyiksaan, dan pembuangan di Pulau Buru dan Plantungan akibat kekliruan keputusan politik pimpinan PKI yang menyebabkan jatuhnya ribuan korban…….Kami sudah kenyang dengan penderitaan akibat partai bapak saya yang tidak bertanggungjawab”. Tidak heran, orang yang demikian bisa gampang mendapat title sarjana dalam “arena pendidikan orba”, sebab kalau Orba mengetahui, menurut Peraturan Mendagri Amir Mahmud No. 32/1981, jangan harap anak-anak PKI yang masih membela “partai bapaknya” akan bisa menjadi sarjana. Satu-satunya jalan untuk tidak mungkin diketahui, adalah mengutuk PKI, mengutuk partai bapaknya! Dengan kata lain, membebek dan menerima bulat-bulat apa yang dijejalkan orba/Suharto bahwa PKI itu salah, keliru dan menjadi pemberontak dan harus dimusnahkan. Meminjam kata-kata Hersri Setiawan: “Generasi pasca-65 dipaksa menelan mentah-mentah tanpa tanya!”. 32 tahun-sepertiga abad- Suharto ditampuk kekuasaan, bukanlah sebentar. Semuanya bisa dirobah dalam masa yang begitu lama!
Jika anda barangkali adalah seorang Kristen dan membaca Alkitab, maka tepatlah ucapan sang Putra, Yesus Kristus, yang diutus Allah ke bumi bahwa “tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan, karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain……..”(Matius 6:24 Akitab Katolik). Jadi tidak mungkin sekaligus bisa membela PKI dan membela Suharto yang anti PKI.
Kalau kita mau membaca, Prof. John Roosa, yang secara pandai sekali merekonstruksi peristiwa dengan mewawancarai tokoh-tokoh Peristiwa 1965 yang terkenal, dalam bukunya “Dalih Pembunuhan Massal”, beliau menulis: “Sekalipun arus propaganda terus membanjir selama tiga puluh tahun lebih, tentara Suharto tidak pernah membuktikan bahwa PKI telah mendalangi G-30-S” (John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, halaman 95, alinea 2). “Pada akhirnya, satu-satunya bukti bahwa PKI memimpin G-30-S adalah karena Angkatan Darat menyatakan demikian” (John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, halaman 99, alinea 2).
Gus Dur pernah mengatakan: "Kalau bangsa ini ingin berhasil di masa depan, harus jujur dengan masa lampau". Pertanyaan kita: Apakah pemimpin-pemimpin Indonesia yang duduk di pemerintahan sekarang ini jujur dengan masa lampau? Harus kita ingat, Peristiwa Pelanggaran HAM Terbesar 1965 tidak pernah bakal dilupakan. Sejarah 1965 tak mungkin dihapuskan!
Siapa sajapun yang menjadi Presiden RI, selama kasus tragedi 1965 tidak diselesaikan tuntas secara hukum, selama itu akan menghantui Pemerintahan Indonesia!
Para pembaca yang budiman, untuk mendapatkan data yang lebih jelas, silahkanlah anda mendapatkan dan membaca buku/tulisan dan riset dari tokoh-tokoh sejarah seperti Dr. Asvi, Prof. Anderson, Drs. Harsutejo, Prof. Wertheim, Prof. John Roosa dan banyak lainnya lagi. Namun, jangan lupa juga membaca buku Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia (MASHI) terbitan Ultimus Bandung, 2010, yang diberi kata pengantar oleh Prof. Jakob Sumardjo, Bandung. Dari buku ini. anda, di samping bisa melihat dan mengulang serta mengingat kembali Peristiwa 1965 yang mengerikan dan menelan jutaan korban, anda juga akan menemukan lebih kurang 1500 nama-nama korban pembunuhan yang dilakukan oleh aparat orba di kota-kota di propinsi Jateng, Jatim, Bali, Sumbar, Riau dll. serta nama-nama kaum wanita yang diperkosa ramai-ramai kemudian dibunuh di Sumatra, periode 1965/1966, yang tercantum sebagai lampiran buku tersebut, karena manatahu sanak saudara atau kenalan anda yang hilang semasa menjadi tapol orba, namanya mungkin tercantum dalam buku itu.
Kemudian, marilah kita merenungkan, mengheningkan cipta untuk jutaan korban yang dibantai oleh rezim Suharto dalam Peristiwa 1965, yang jasad dan tulang belulangnya berserakan tanpa nisan di seluruh persada tanah air tercinta. (bahan dari berbagai sumber)
‘Kan kukenang selalu,
‘kan kuingat selalu,
tubuh, darah dan nyawa
dan segenap pengorbananmu!
YTTaher.
MARHAENISME
· Marhaen
Orang yang menderita lahir batin akibat kapitalisme , kolonialisme/ imperialism ,feodalisme atau system lainya yang menindas dan mengungkung
· Marhaenis
Orang yang berjuang untuk kaum marhaen dalam membebaskan diri dari semua sistim yang mengungkung dan menindas dan mewujudkan masyarakat marhaenis yang tidak saling menindas
MARHAENISME
Ajaran bung Karno secara keseluruhan
v Bung karno dengan pisau analisa historis materialism menganalisa kondisi masyarakat Indonesia sebagai komunitas social ,hidup disuatu wilayah geo politik hindia belanda dan tidak dapat mengaktualisasikan tuntutan budi nuraninya (Social Consience Of Man )
Karena Apa ……?
Tertindas oleh system yang menindasnya , kolonialisme / imperialism ,anak kapitalisme dan feodalisme bangsa sendiri
BK (Bung karno) mencetuskan ideology disebut marhaenisme dengan asas
- Sosio Nasionalisme
- Sosio Demokrasi
- Sosio KeTuhanan YME