Artikel ‘Pandangan Islam Terhadap Marhaenisme’ ini ditulis dan disampaikan oleh Ahmad Dahlan Ranuwihardjo pada Seminar Nasional bertajuk “Aktualisasi Marhaenisme dalam Pembangunan Masyarakat Madani Berdasarkan Pancasila”, yang diselenggarakan oleh Keluarga Besar Marhaenis tanggal 13 Maret 1999 di Yogyakarta.
Seminar Nasional Marhaenis ini merupakan pukulan –atau dengan bahasa
Bung Karno—merupakan palu godam bagi kubu imperialism dan
neokolonialisme. Seorang juru bicara kubu imperialism Daniel Bell pernah
mendalilkan: the end of the ideology. Mengapa Bell itu
menganggap ideologi sudah mati? Ialah agar bangsa-bangsa di dunia hanya
menganut satu ideologi, yaitu ideologi liberalism kapitalisme dengan apa
yang dinamakan ekonomi pasar bebas bagi kapitalisme Barat untuk
mendominasi ekonomi negara-negara berkembang seperti Indonesia yang
dengan kekayaan alamnya yang melimpah, dengan penduduknya yang banyak
serta dengan upah buruhnya yang murah, semuanya ini merupakan lahan yang
empuk enak bagi kapitalisme.
Seminar Nasional Marhaenisme ini
membuktikan ideologi tidaklah berakhir. Ideologi tidaklah mati.
Pancasila Insya Allah tetap hidup. Marhaenisme Insya Allah juga akan
bangkit kembali. Kepada Pengurus Pusat Keluarga Besar Marhaenis, saya
berdiri tegak memberi salut atas prakarsanya menyelenggarakan seminar
ini.
REPUBLIK INDONESIA NEGARANYA RAKYAT KECIL
Pada hari protag (Proklamasi 17 Agustus 1945) bangsa Indonesia dapat
dikatakan hampir seluruhnya terdiri dari rakyat kecil yang hidup dalam
serba kekurangan dan keterbatasan. Pemuda-pemuda termasuk TNI yang
dengan senjata membela dan mempertahankan republik protag juga terdiri
dari mereka yang berasal sebagian besar rakyat kecil.
Tanpa mengurangi sedikitpun peran dan hak
orang-orang Indonesia yang kaya dimana jumlahnya amat sedikit pada hari
protag tersebut, dapatlah dikatakan bahwa Republik Indonesia (RI)
adalah negara rakyat kecil.
Beda dengan Amerika Serikat yang didirikan oleh 13 negara bagian dengan declaration of independence
4 Juli 1776, masing-masing negara bagian yang mendirikan negara federal
Amerika Serikat itu adalah negaranya kaum menengah yang sudah mapan
yang serba sudah punya. Sudah punya tanah dan kebun, sudah punya bisnis
dan sumber penghasilan lain yang memberi posisi kelas menengah kepada
mereka. Dan kelas menengah di Amerika itu sudah tercipta dalam waktu
kurang lebih 150 tahun sejak mereka pada awal abad ke-17 bermigrasi dari
Eropa menuju benua Amerika.
Rakyat kecil di Indonesia mempunyai
“profesi” yang tidak mandiri seperti pegawai negeri dan buruh, atau
mandiri seperti pemilik warteg, petani kecil, tukang jahit, pemilik
bengkel sepeda, pedagang asongan, kaki laima dan pemulung, semuanya baik
yang tidak mandiri maupun yang mandiri adalah orang-orang kecil karena
kecil penghasilannya. Mereka orang-orang kecil itu tidak dapat disebut
proletar, karena proletar per definisi adalah orang yang menjual
tenaganya tanpa mempunyai hak kepemilikan atas alat produksi, sedang
yang memiliki alat produksi adalah si borjuis kapitalis.
Sewaktu Karl Marx bersama-sama Friedrich Engels menyusun Manifesto Komunis pada tahun 1848, orientasi Marx adalah para buruh di Inggris yang menggunakan satu-satunya kategori orang kecil di Inggris.
Bung Karno yang melihat rakyat kecil di
Indonesia adalah beragam kategorinya, tidak dapat menyebut mereka
sebagai kaum proletar, apalagi pada tahun 1920-an itu industry di
Indonesia baru berupa beberapa pabrik gula, sehingga jumlah buruhnya
yang disebut kaum proletar juga baru sedikit, sedangkan rakyat kecil di
Indonesia adalah hampir semua rakyat.
Untuk mencakup semua rakyat kecil di
Indonesia itu Bung Karno mempergunakan sebutan si marhaen. Dan
marhaenisme adalah perjuangan yang berorientasi kepada orang kecil si
marhaen dan berupaya mengangkat derajat mereka.
Ajaran Bung Karno tentang marhaenisme itu
sepenuhnya sesuai dengan kondisi sosiologis dari masyarakat Indonesia.
Dan kalau UUD 1945 Pasal 33 mencantumkan bahwa perekonomian disusun
sebagai usaha berdasarkan asas kekeluargaan, dan penjelasan pasal
tersebut menyebutkan koperasi sebagai yang dimaksudkan oleh pasal
tersebut, sedangkan koperasi tidak dapat tidak adalah usahanya kaum
kecil dan kaum lemah, maka ajaran Bung karno tentang marhaenisme itu
telah memperoleh penjabarannya dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat (1).
Kongres PNI di Bandung tahun 1966 membuat
definisi tentang Marhaenisme, yaitu: Sosio-Nasio-Demokrasi yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, dan ini identik dengan Pancasila.
ISLAM DAN NASIONALISME INDONESIA
Sejak semula, nasionalisme yang dikumandangkan oleh Bung Karno pada
tahun 1927 bukanlah sembarang nasionalisme, bukanlah nasional tok,
melainkan nasionalisme yang terangkum dalam rangkuman
Sosio-Nasio-Demokrasi, yaitu nasionalisme yang mengandung
prinsip-prinsip kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial.
Pada waktu itu di kalangan Islam terjadi
polemik tajam antara ustadz A. Hassan, tokoh Persis (Persatuan Islam)
Bandung dan Mochtar Luthfi, pemimpin Parmi (Partai Muslimin Indonesia)
Padang. A. Hassan menentang paham nasionalisme yang diagung-agungkan
bagaikan berhala sesembahan baru. Mochtar Luthfi menganut nasionalisme
sebagai sikap menentang kolonialisme/kapitalisme yang sebagai sistem
penghisapan/penindasan merupakan kedholiman yang menurut ajaran Islam
harus ditentang.
Yang dilihat oleh ustadz A. Hassan adalah
nasionalisme Barat dengan perangainya yang chauvinistic,
ekspansionistik dan jinggoistik.
Setiap kali suatu negara imperialis
melakukan perang menaklukkan suatu negara jajahan, para serdadunya yang
kembali dari medan perang disambut, dielu-elukan dan disamping oleh
rakyat negara imperialis dianggap pahlawan bangsa. Inilah yang dimaksud
oleh ustadz A. Hassan bahwa nasionalisme itu sudah merupakan berhala
sesembahan baru.
A. Hassan sampai-sampai mengidentikkan nasionalisme dengan ‘ashobiyyah’
yang adalah identik dengan fanatisme atau chauvisme. Dalam sebuah
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Nabi bersabda bahwa siapa yang
mati karena menyetrukan atau menolong ‘ashobiyyah, matinya adalah mati jahiliyah.
Sampai sekarang di kalangan Islam masih ada saja yang menyamakan kebangsaan dengan ‘ashobiyyah’. Benarkah ini? Sebuah Hadits dari Abu Daud meriwayatkan seorang sahabat Watsilah Asqa’ bertanya kepada Nabi: “Apakah ‘asshobiyyah’ itu, ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “bahwa engkau menolong kaummu dalam kedholiman”.
Paham kebangsaan yang dibawakan oleh Bung
Karno yaitu kebangsaan yang berperikemanusiaan, berdemokrasi dan
berkeadilan sosial tentulah bukan kebangsaan yang mengandung kedholiman
seperti kebangsaan Barat yang chauvinistic, espansionistik dan
jinggoistik. Oleh karena utu paham kebangsaan Indonesia tidaklah identik
dengan ‘ashobiyyah’.
Dengan dikumandangkannya oleh Bung Karno
paham Sosio-Nasio-Demokrasi itu berakhirlah polemik antara A. Hassan dan
Mochtar Luthfi mengenai paham kebangsaan.
Umat Islam Indonesia dapat menerima paham
nasionalisme Indonesia yang mengandung prinsip-prinsip kebangsaan,
kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial yang disebut
Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi atau lebih disingkat lagi
Sosio-Nasio-Demokrasi yang setelah dipadukan dengan ke-Tuhanan Yang Maha
Esa menjadi lima silanya Pancasila.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP MARHAENISME
Islam mengandung ajaran-ajaran yang mengharuskan sikap peduli dan sikap
memihak kepada orang kecil, orang miskin yang oleh Bung Karno disebut si
Marhaen, dan yang dalam Al-Qur’an disebut kaum dhu’afaa. Bahkan sikap
tidak peduli atas nasib orang-orang miskin itu adalah sama dengan
mendustakan agama sebagaimana yang difirmankan Allah SWT di dalam Surat
A-Maun, “Siapakah yang mendustakan agama. Ialah yang mengabaikan
anak-anak yatim dan tidak peduli terhadap orang-orang miskin yang
kelaparan”.
Jadi, muslim/muslimat yang rajin shalat
lima waktu dan tertib berpuasa di dalam bulan ramadhan bahkan yang sudah
haji dan membayar zakat, tetapi mengabaikan anak-anak yatim dan
orang-orang miskin, atau seorang pejabat tinggi yang dengan
kebijakanaan-kebijaksanaannya tidak bijaksana menimbulkan kemiskinan
yang disebut kemiskinan struktural, si pejabat itu walaupun
kadang-kadang dengan tegap memukul bedug bertalu-talu dan dengan suara
lantang mengumandangkan takbir, muslim/muslimat dan pejabat tinggi
tersebut di mata Allah SWT adalah orang-orang yang mendustakan alias
memanipulasi agama.
Di bidang ekonomi, Al-Qur’an mengandung
ajaran-ajaran yang melarang orang-orang kecil dihisap ataupun dirampas
haknya. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Surat
Al-Ahqaaf ayat 19, “Bagi setiap orang apa yang dikerjakan mempunyai
harga, harga itu hendaknya dibayar penuh dan janganlah ada yang
dihisap.”
Sementara itu, Surat Al-Baqarah ayat 275
melarang riba. Dan yang dimaksudkan riba tidaklah hanya berupa bunga
terhadap pinjaman uang, melainkan setiap bentuk keuntungan yang
diperoleh dari seseorang yang sedang dalam kesulitan. Umpamanya dalam
hal ‘ngijon’, yakni menjual tanaman padi (atau tanaman buah-buahan) yang
sudah menghijau (atau berbuah) dengan harga lebih kurang separuh dari
harga tanaman yang sudah siap panen; atau membeli barang seseorang yang
sedang membutuhkan uang dengan harga jauh di bawah pasaran.
Jadi riba adalah mengandung unsur
kedholiman (penghisapan) terhadap orang kecil yang dalam kesempitan.
Itulah mengapa Surat Al-Baqarah ayat 275 itu disambung dengan ayat lain
yang berbunyi,”Janganlah kamu menghisap dan janganlah kami dihisap.”.
Surat tersebut diperkuat dengan Hadits Nabi, “Janganlah kamu menimbulkan
kerugian, jangan pula kami dirugikan.”
Di dalam ajaran Islam: mencegah
kemungkinan (nahi munkar) yang termasuk kemungkinan di bidang ekonomi
adalah setiap bentuk penghisapan manusia oleh manusia, bangsa yang satu
oleh bangsa yang lain dan penghisapan bangsa oleh beberapa gelintir
orang sebangsa.
Terhadap kapitalisme yang merupakan sistem penghisapan, Mohammad Qutb menulis dalam Islam the Misunderstood Religion,
1964, halaman 132 sebagai berikut, “Mereka kaum orientalis berpendapat
karena Islam mengakui hak milik perorangan, mereka lalu mengira bahwa
Islam menyetujui kapitalisme. Kapitalisme itu tidak dapat tumbuh dan
berkembang tanpa penghisapan (riba) dan monopoli yang dua-duanya
dilarang oleh Islam sekitar seribu tahun sebelum keberadaan
kapitalisme.” (The orientalist argue that Islam permitted individual
ownership it must likewise permit capitalism. In answer to this
accusation it might suffice to point out that capitalism can not propher
or grow without usury and monopoly both of which were prohibited by
Islam about one thousand years before the existence of capitalism).
Mengenai laba yang diperoleh si kapitalis
berkat kerja dan keringat si buruh, kembali Mohammad Qutb menyatakan,
“Prinsip Islam dalam hal ini adalah memberi hak kepada si buruh untuk
menerima bagian dari laba perusahaan. Majikan menyediakan modal dan
buruh memberikan tenaga kerjanya. Kedua belah pihak berhak memperoleh
bagian yang sama atas laba perusahaan.” (The Islamic principle which
was laid in this respect entitles the workman to share the profit with
their employers. The Employer provides the capital and the workman does
the work. The two effort are equal and accordingly the are entiled to an
equal share in the profit).
Penjabaran lain dari Marhaenisme adalah
Pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan ayat (3). Dalam penjelasan mengenai Pasal
33 itu diterangkan jika negara tidak menguasai cabang produksi yang
menguasai hajat hidup orang banyak, tampak produksi akan jatuh ke tangan
orang seorang, sehingga rakyat banyak akan ditindasnya (dihisap).
Demikian juga kalau bumi, air dan kekayaan alam didalamnya tidak
dikuasai oleh negara, kekayaan alam itu tidak akan dapat dimanfaatkan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pasal 33 UUD 1945 itu merupakan prinsip
ekonomi Marhaenisme sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam seperti yang
terkandung dalam Surat Thaha ayat 6, “Milik Allah-lah semua yang ada di
langit, yang ada di bumi, dan di antara keduanya serta yang ada di bawah
tanah.” Kalau disebut milik Allah, itu berarti bahwa semua kekayaan
alam haruslah dimiliki bersama, tidak boleh dimiliki orang seotang. Ayat
tersebut diperkuat oleh sebuah Hadits Nabi diriwayatkan oleh Ahmad Abu
Daud, “Manusia haruslah memiliki tiga sumber, yitu sumber air, sumber
tumbuh-tumbuhan dan sumber energi.”
Menurut Mustafa Husni Assiba’i dalam Sosialisme Islam
(terjemahan M. Abda’i Ratomy, halaman 215), kalau Hadits tersebut hanya
menyebutkan tiga macam sumber alam, hal ini sekali-kali bukan membatasi
pemilikan bersama itu hanya pada tiga macam komoditi tersebut,
melainkan dapat diperluas kepada semua benda yang merupakan kebutuhan
bersama bagi rakyat.
Demikian beberapa ayat Al-Qur’an dan
Hadits yang merupakan acuan betapa Islam amat peduli terhadap nasib kaum
dhu’afaa atau kaum marhaen.
KEMENANGAN YANG ABADI
Allah akan mengangkat kaum dhu’afaa sebagaimana yang difirmankan oleh
Allah SWT dalam surat Al-Qoshash ayat 6, “Dan kami (Allah) akan menolong
kaum dhu’afaa di muka bumi dan menjadikan mereka pemimpin dan
orang-orang yang akan mewarisi (bumi).” Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya
kemenanganmu adalah bersama-sama dengan kaum dhu’afaa.”
Makna Hadits tersebut adalah bahwa
kemenangan akan tercapai hanya jika kita memihak kepada kaum dhu’afaa
atau kaum marhaen dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dan kemenangan
bersama-sama dengan kaum dhu’afaa/marhaen itu adalah kemenangan yang
abadi.
Kemenangan dan kejayaan rezim Suharto
adalah kemenangan bersama-sama para Konglomerat yang korup dan kolusif
disertai dengan penghisapan, penindasan dan penggusuran kaum
dhu’afaa/marhaen. Karena itu kemenangan dan kejayaan Suharto hanyalah
kemenangan sementara dan sekarang sudah runtuh ambruk.
Bagi umat Islam Indonesia perjuangan
untuk mencapai negara yang adil dan makmur lahir batin yang diridhoi
oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur)
tidaklah lain melainkan perjuangan yang dijiwai oleh perintah Allah,
“Sesungguhnya shalatku, perjuanganku, hidupku dan matiku hanyalah
semata-mata untuk Allah.” Dan yang dimotori oleh nasionalisme Indonesia
(bukan ‘ashobiyyah) yang ber-Pancasila, jadi yang bercorak Sosialisme
Indonesia (bukan sosialisme marxis) karena Pancasila adalah
anti-kapitalis, anti-imperialis dan anti-nekolonialis (tentu saja juga
anti-komunis).
Dalam hubungan ini saya teringat kepada
pesan Bung Karno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, 1959, halaman 10,
“Islam yang sejati tidaklah mengandung azas anti-nasionalis; Islam yang
sejati tidaklah bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis
memusuhi paham nasionalisme yang luas budi…, selama itu kaum Islamis
tidak berdiri di atas Shirothol Mustaqim.”
Selanjutnya Bung Karno juga menegaskan di buku yang sama halaman 253, “Dan perjuangan menuju baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur
itu perjuangan yang bersandarkan kepada kaum dhu’afaa, kaum marhaen,
jadi yang bersemangat marhaenisme yang di dalam segala halnya
menyelamatkan Marhaen.”
Bagi seorang muslim Indonesia yang ingin
menjadi muslim/muslimat yang baik, ia sekaligus haruslah seorang
nasionalis, seorang Pancasilais, seorang sosialis dan seorang Marhaenis.
APAKAH AKU SEORANG MARHAENIS?
Seorang muslim Indonesia yang baik adalah seorang muslim yang nasionalis, pancasilais, sosialis dan marhaenis.
Karena ingin menjadi seorang muslim yang baik, yang sejati kata Bung Karno, Insya Allah, saya adalah seorang Marhaenis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar