Generasi muda Wajib Meneruskan Revolusi
yang Belum Selesai
« Pemuda macam apakah yang diharapkan bangsa kita? Apakah Anas
Urbaningrum, Edi Baskoro Yudhoyono (Ibas), ataukah Sri Mulyani
Indrawati? Sebagai anak bangsa, pemuda ditantang untuk bisa menjawab
tuntutan zamannya.
Oleh karena itu, penting untuk mengupas peran pemuda dari zaman ke zaman agar bisa jadi pelajaran dan ukuran kepantasan.
Soe Hok Gie dalam bukunya Di bawah Lentera Merah menjelaskan, di
masa kolonial Belanda kaum muda punya dua pilihan, mengabdi dalam
struktur kekuasaan penjajah atau mengorganisasi diri melawan penjajah.
Untuk itu, lahirlah generasi awal pergerakan Indonesia dalam Sarikat
Islam pada 1912 yang sebelumnya bernama Serikat Dagang Islam.
Meski demikian, politik saat itu tidak serta merta hitam putih.
Luas dan tingginya perlawanan berupa pemogokan dan demonstrasi membuat
Belanda memenuhi tuntutan Indonesia untuk berparlemen.
Pada 1918 sebagian pemuda di antaranya Tjokroaminoto (38), MH
Thamrin (24), Agus Salim (34), dan Abdul Muis (35) bergabung dengan
Volksraad yang sejatinya bukanlah parlemen, namun sebagai penasihat
Gubernur Jenderal Belanda.
Badan ini dibentuk Belanda dengan tujuan agar dapat mengendalikan
radikalisasi di kalangan pemuda. Saat itu, beberapa pemuda juga sudah
mulai dibina menjadi intel dan kaki tangan Belanda.
Parlemen ciptaan itu gagal membendung perlawanan. Rakyat terus
melawan sampai saat pemberontakan nasional pertama oleh rakyat
Indonesia pada November 1926 yang dipimpin Semaun, Dharsono, dan
Alimin.
Perjuangan pemuda Indonesia bergelora kembali di masa fasisme
Jepang. Kehidupan rakyat semakin berat, mendorong pemuda memilih
antara ikut Jepang atau Belanda. Dalam metode perjuangan saat itu, ada
yang melakukan agitasi propaganda mengobarkan semangat perlawanan
seperti Soekarno (41).
Ada yang menyusup di Heiho dan PETA, seperti Supriadi (19) dan
kawan-kawan. Ada juga yang melancarkan perang gerilya melawan Jepang
seperti Amir Sjarifuddin (35), Sutan Sjahrir (33), dan Tan Malaka
(47).
Puncak dari perjuangan pemuda dan rakyat melawan Jepang dan
kolonialisme Belanda adalah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Proklamasi dilakukan Soekarno (44) dan Moh Hatta (43).
Menjatuhkan Soekarno
Situasi politik setelah proklamasi kemerdekaan berubah-ubah
sampai 1965. Namun, gelora antipenjajahan di dalam Preambule UUD’45
terus membakar sikap anti neokolonialisme dan imperialisme (nekolim).
Kebijakan luar negeri Presiden Soekarno berhasil menggalang
Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955 dan mendorong terbentuknya
Gerakan Nonblok yang antineokolonialisme dan imperialisme. Di dalam negeri Soekarno menggalang front nasional Nasakom (Nasional Agama dan Komunis).
Tentu saja musuh-musuh Soekarno di luar negeri merasa terganggu
sehingga berkali-kali mencoba menjatuhkan Soekarno. Beberapa
persiapan dilakukan, termasuk di kalangan pemuda dan mahasiwa. Pater
Beek yang pada saat itu sudah menjalin hubungan dengan TNI mendapat
tugas mengumpulkan para pemuda untuk menggalang gerakan anti-Soekarno.
Lewat kudeta militer 1965 Soekarno berhasil dicongkel dan
Soeharto merebut kekuasaan yang didukung pemuda dan mahasiswa. Para
pemuda tersebut di antaranya adalah Akbar Tanjung (20), Cosmas
Batubara (27), Hari Tjan Silalahi (31), Arief Budiman (24), dan Soe
Hok Gie (23).
Namun Soeharto yang didukung angkatan 66 itu harus berhadapan
dengan gelombang perlawanan pemuda yang bersatu dengan rakyat. Selama
30 tahun Soeharto berkuasa dengan militerisme telah melahirkan
perlawanan rakyat yang yang dipelopori pemuda mahasiswa sejak zaman
Hariman Siregar (36) pada peristiwa Malari 197
Diikuti perlawanan Mahasiswa yang dipimpin Indro Tjahjono (28) pada
1978. Kemudian Orde Baru Soeharto berhasil diakhiri di masa Budiman
Sujadmiko (26) pada 1996-1998.
Politik Uang
Lain lagi di masa Reformasi yang dipenuhi kepentingan partai
politik (parpol), setiap pemuda dituntut bisa mendapat simpati
pemilihnya. Tujuannya agar bisa menjadi anggota parlemen atau
berebutan posisi elite partai. Untuk mencapai tujuan itu tidak mudah,
karena membutuhkan modal dana yang tidak sedikit.
Perjuangan pemuda yang tadinya demi kepentingan rakyat telah
didominasi politik elite dengan modus mengeruk sebanyak-banyaknya dana
untuk memperkaya diri dan partai.
Saat ini, alat perjuangan pemuda adalah mengumpulkan dukungan
dengan politik uang dan dari politik pencitraan. Sasarannya adalah
kursi di DPR, kepala daerah, menteri, dan mungkin presiden.
Memang masih ada segelintir pemuda yang percaya bahwa
perjuangan harus dilakukan dengan menumbangkan penguasa. Segelintir
lagi berjuang secara sukarela melayani rakyat yang hidupnya semakin
susah.
Tentu saja buat pemuda seperti Anas Urbaningrum, Ibas, atau Sri
Mulyani sudah tidak membutuhkan perjuangan keras seperti para pemuda
pendahulunya. Dengan bermodal uang saat ini semua posisi bisa dibeli,
termasuk kursi kepresidenan 2014. Yang penting tidak ketahuan seperti
Nazaruddin kalau uang tersebut dari hasil korupsi anggaran negara. (Kutipan tulisan Web Warouw selesai)
Komentar:
Walaupun dalam tulisan bagus di atas terdapat hal-hal yang
kurang akurat (umpamanya, antara lain : tahun-tahun), namun isi atau
semangat yang menjiwainya adalah menarik sekali untuk diperhatikan
oleh kita semua, karena pentingnya.
Dalam tulisan ini telah diangkat betapa besar arti peran
perjuangan orang-orang muda seperti yang telah ditunjukkan oleh HOS
Tjokroaminoto, Alimin, Agus Salim, Tan Malaka , dan Semaun untuk
menggerakkan semangat perlawanan terhadap penjajahan Belanda., semasa
didirikan Serikat Islam.
Juga diangkat peran tokoh-tokoh komunis seperti Semaun,
Dharsono, Alimin dalam pembrontakan rakyat terhadap pemerintah
kolonial Belanda dalam tahun 1926. Semangat perlawanan para pemuda
itu diteruskan selama pendudukan fasisme Jepang, oleh (antara lain)
Amir Syarifudin, Sutan Syahrir, Tan Malaka, Supriyadi.
Peran pemuda ini menjadi memuncak ketika menjelang dan sesudah
proklamasi 17 Agustus oleh Soekarno-Hatta. Dan, kemudian, di bawah
pimpinan Bung Karno semangat pemuda pada umumnya masih tetap
berkobar-kobar berkat politiknya yang anti-imperialis (terutama AS) ,
yang tercermin dalam konferensi Bandung, gerakan solidaritas
Asia-Afrika, menyokong perjuangan rakyat Palestina dan Vietnam, poros
Jakarta-Pnompenh-Hanoi-Peking-Pyongyang, pembebasan Irian Barat.
Sayangnya, peran dan semangat perjuangan para pemuda ini
kemudian merosot atau jauh mundur sekali sejak Bung Karno digulingkan
secara khianat oleh Suharto dengan menggerakkan sebagian kalangan muda
(antara lain : KAMI, KAPPI, HMI) dalam macam-macam aksi-aksi dan
demonstrasi.
Sejak waktu itulah, di Indonesia muncul kalangan muda yang anti
ajaran-ajaran bung Karno, yang anti-revolusi rakyat, yang reaksioner,
yang pro-Barat (terutama AS), anti-sosialisme atau anti-komunisme.
Sejak itu pulalah hilang peran kalangan muda Indonesia di berbagai
bidang kehidupan bangsa Indonesia. Sejak itulah pembusukan atau
degenerasi dan degradasi kalangan muda mulai tampil secara
besar-besaran dan kontinyu. (Sampai sekarang !!!).
Dalam jangka lama sekali (lebih dari 32 tahun) justru kalangan muda
yang semacam itulah yang kemudian direkrut oleh Orde Baru untuk
menduduki birokrasi dan kehidupan politik, sosial, ekonomi di seluruh
Indonesia (di samping tokoh-tokoh militer), dan menduduki
tempat-tempat penting
juga di Golkar atau di partai-partai politik lainnya.
Oleh karena itu, kiranya kita bisa melihat terjadinya
kerusakan atau kebobrokan di banyak bidang kehidupan bernegara dan
berbangsa dewasa ini juga dari sudut ini. Bahwa kebejatan moral pimpinan
(atau tokoh-tokoh) di berbagai lembaga dan aparat negara (dan
partai-partai politik) dewasa ini adalah produk atau akibat dari
dihancurkannya jiwa dan ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno oleh
pimpinan Angkatan Darat (waktu itu) beserta golongan-golongan
reaksioner lainnya, dengan kerjasama dan bantuan imperialisme
negara-negara Barat.
Ini semua dapat kita sakskan selama puluhan tahun sejak
merajalelanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan (dan pelangggaran
berat HAM) selama Orde Baru, yang diteruskan oleh kasus BLBI, Bank
Century, kasus Gayus Tambunan, dan kasus Nazaruddin-Anas
Urbaningrum-Partai Demokrat dewasa ini.
Sekarang kita bisa menyaksikan sama-sama bahwa kejahatan dan
dosa-dosa besar yang dilakukan oleh Orde Baru (beserta para
pendukungnya) bukan hanya penggulingan (sekali lagi : secara
khianat !!!) terhadap Bung Karno dan pembunuhan secara massal dan
biadab jutaan warganegara -- yang tidak bersalah atau tidak berdosa
apa-apa -- , melainkan juga terutama sekali pengrusakan dan
pembusukan generasi muda.
Sejak Orde Barunya Suharto generasi muda bangsa kita dididik
mulai dari Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi dengan cekokan segala
macam doktrin yang jauh dari patriotisme kerakyatan, terlepas dari
nasionalisme revolusioner, berlawanan dengan semangat mengabdi kepada
bangsa, dan bertentangan dengan
jiwa asli Pancasila dan Bhinneka
Sejak itu, generasi muda – yang sekarang ini banyak yang
memperoleh kedudukan penting dalam pemerintahan maupun dalam
masyarakat, pada umumnya tidak mendapat pendidikan politik dan moral
sebagai bagian penting dari nation and character building. Kebanyakan
di antara mereka hanya menjadi pengejar kedudukan yang serba enak,
mendapat gaji yang baik, dan mengumpulkan kekayaan (walaupun dengan
cara-cara haram dan melalui korupsi). Mereka tidak peduli lagi kepada
penderitaan puluhan juta rakyat miskin yang sekarang masih tetap
terdapat di seluruh daerah negara kita.
Gejala semacam ini tercermin dalam hidup dan tingkah laku
kalangan elite bangsa, yang menjadi pembesar-pembesar dan anggota DPR
atau DPRD, yang tersangkut dalam banyak korupsi, dan diselidiki oleh
KPK dewasa ini.
Mengingat betapa besarnya kerusakan mental dan seriusnya
kebobrokan moral di kalangan elite (yang sebagian terbesar terdiri
kalangan muda seusia Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan Ibas) yang sudah
membusukkan kehidupan bangsa selama puluhan tahun, maka wajarlah kalau
ada orang-orang yang menjadi pesimis apakah mungkin ada perubahan
atau perbaikan dalam waktu dekat yang akan datang.
Banyaknya mafia hukum dan peradilan (di Jakarta dan di
seluruh Indonesia), kebejatan di kalangan pimpinan Polri dan Kejaksaan,
keruwetan yang terjadi di KPK, tingkah-laku wakil-wakil partai politik
di DPR dan DPRD semuanya mengindikasikan bahwa negara dan bangsa kita
akan tetap terus mengalami pembusukan yang berjangka panjang.
Apalagi, dengan pemerintahan sejenis yang dipimpin SBY
sekarang ini, yang menurut surat-surat rahasia Kedutaan Besar AS yang
dibocorkan Wikileaks adalah terdiri dari orang-orang yang dekat dengan
Amerika, maka sedikit sekali kemungkinan adanya politik negara dan
bangsa kita, yang sungguh-sungguh anti neo-liberalisme dan menjunjung
tinggi kepentingan rakyat banyak.
Tetapi, banyaknya ketidakadilan dan luasnya penderitaan orang
banyak di Indonesia, dan merajalelanya kejahatan yang berbentuk
korupsi, semuanya itu menimbulkan perlawanan, dan menciptakan kemauan
bersama untuk terjadinya perubahan menuju perbaikan.
Tanda-tanda ke arah itu sudah dan sedang ditunjukkan oleh
berbagai kalangan generasi muda yang anti Orde Baru, dan yang melihat
tak ada jalan lain, kecuali
meneruskan revolusi yang belum selesai, menurut ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno.
A. Umar Said
Tidak ada komentar:
Posting Komentar