(Harsutejo)
Bung Karno (BK) yang sejak remaja berjuang untuk kemerdekaan rakyat
Indonesia, pada puncak kekuasaannya sebagai Presiden Republik
Indonesia, tiba-tiba dituduh dan diperlakukan sebagai orang yang hendak
melakukan perebutan kekuasaan alias kudeta, bahkan sebagai pemberontak.
Betapa absurdnya! Prof Dr Brigjen Nugroho Notosusanto menulis, “Pada 1
Oktober 1965 beberapa kelompok pemberontak (kursif hs) berkumpul di
Pangkalan Udara Halim. Kelompok Cenko [central komando] menempati gedung
Penas, Presiden beserta pengikut-pengikutnya menempati rumah Komodor
Udara Susanto, dan kelompok ketiga (yang lebih kecil jumlahnya), yang
terdiri dari Ketua PKI Aidit beserta pembantunya, menempati rumah Sersan
Dua Udara Suwardi”
Seperti kita ketahui keberadaan BK di Halim pada 1 Oktober 1965
berdasarkan prosedur baku penyelamatan Presiden, karena di Halim selalu
siap pesawat yang dapat membawanya ke mana pun pada saat keadaan
memerlukan. Presiden Sukarno dituduh melakukan pemberontakan dan kudeta.
Kudeta itu dilakukan terhadap pemerintahan Presiden Sukarno, untuk
menjatuhkan dirinya dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Betapa kacau
balaunya jalan pikiran Pak Profesor yang ahli filsafat sejarah ini,
tidak masuk akal dan tidak tahu malu. Tak aneh jika Pak Profesor ini
pula yang berusaha menghapuskan gambar BK dalam foto bersejarah
detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur, Jakarta,
seolah BK tak pernah hadir di sana.
Apa yang dituduhkan tersebut dioper dalam analisis terhadap G30S
yang dilakukan oleh Jenderal Nasution (dengan “bijak” Jenderal Suharto
tidak ikut menuduhnya secara terbuka) dalam bukunya Memenuhi Panggilan
Tugas, Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru, 1988. Nasution menggunakan
dua hal, pertama pidato BK di Senayan pada malam hari 30 September 1965
yang mengambil dunia pewayangan antara lain BK mengutip nasihat tokoh
Kresna kepada ksatria Arjuna bahwa tugas itu tidak menghitung-hitung
korban [ia menghubungknnya dengan G30S yang sedang dipersiapkan]. Lalu
disebutkan BK bergembira ria malam itu dengan menyanyi-nyanyi dan menari
[maksudnya menyongsong kemenangan G30S]. Selanjutnya ia juga
menggunakan kesaksian Kolonel KKO Bambang Wijanarko, salah seorang
pengawal Presiden Sukarno dalam interogasi yang dilakukan oleh Kopkamtib
tentang penerimaan surat oleh BK di Senayan malam itu dari Letkol
Untung [yang notabene sedang mempersiapkan pasukan G30S untuk menculik
para jenderal].
Analisis tersebut menjadi dongeng semacam kisah detektif yang
dirangkai murahan. Seluruh rakyat Indonesia, bahkan seluruh dunia,
mengenal BK sebagai orator yang selalu berpidato berapi-api sejak muda
dengan mengutip kata-kata bijak banyak tokoh dunia, juga kisah
pewayangan yang sangat dikuasainya. Beliau pun menyukai bernyanyi dan
menari bergembiraria dalam banyak kesempatan. Jadi kisah Jenderal
Nasution tentang hal itu mengenai BK sama sekali bukan hal baru. Kisah
itu sekedar menggiring pembacanya yang dapat dibodohi dan ditipu untuk
mendapatkan persepsi bahwa BK terlibat G30S, bahkan dalangnya.
Apa yang dikemukakan Jenderal Nasution di atas kemudian dikemas
secara lebih “ilmiah” dan dijadikan “teori” oleh Antonie Dake dalam
bukunya In the Spirit of Red Banteng: Indonesian Communists Between
Moscow and Peking, 2002. Lalu diperbarui dalam bukunya Sukarno File –
Berkas-Berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan, 2005. Bahwa
inisiatif G30S untuk mengambil tindakan terhadap sejumlah jenderal
datang dari Presiden Sukarno, selanjutnya Aidit cs menggunakan
kesempatan untuk membonceng. Boleh dibilang “teori” Dake ini semata-mata
didukung oleh bahan interogasi terhadap Bambang Wijanarko, tanpa
mengupas bagaimana suatu kesaksian dapat dikorek dan disusun oleh
penguasa militer yang memperlakukan mereka bagai nyamuk yang dapat
dijentiknya setiap saat tanpa perlindungan. Mereka yang berpengalaman
dengan interogasi model rezim ini mengetahui benar kesaksian macam apa
yang mungkin diberikan oleh Wijanarko yang dikutip Dake dan dijadikan
pilar teorinya. Dake menambahkan kenyataan ketika 1972 ia datang ke
Indonesia, ia mendapati pemerintah Suharto memandang Sukarno tidak
tersangkut dalam peristiwa G30S. Dengan begitu kemungkinan kesaksian
Wijanarko direkayasa untuk merugikan Sukarno terbantah meski masih
terbuka kemungkinannya. Agaknya Dake kurang dapat menangkap roh rezim
Orba. Setiap pelajar politik mengetahui, pada saat diperlukan jika para
pembantu Suharto bicara tentang Sukarno, mereka pun hendak merangkul
dengan cara “menghibur” jutaan rakyat yang masih tetap mencintai BK
dengan ungkapan Jawa yang digemari Suharto, mikul dhuwur mendhem jero.
Kesaksian Bambang Wijanarko tersebut dibantah keras oleh Kolonel
Pomad Maulwi Saelan, Wadan Cakrabirawa yang malam itu, 30 September 1965
di Senayan, tidak pernah beranjak dari dekat BK sampai kembali ke
istana, tak ada gerak gerik BK yang lepas dari pengamatan Saelan. Ia
menganggap hal itu sebagai aneh dan direkayasa. Keterangan yang
direkayasa ini mendapat imbalan, Bambang Wijanarko tidak ditahan, bahkan
mendapat jabatan, sedang Saelan yang di depan pemeriksa membantah keras
keterangan Bambang Wijanarko ditahan selama lebih dari 4 tahun.*
“Teori” di atas selanjutnya dikembangkan oleh Victor M Fic dengan
memasukkan unsur romantik ke dalam bukunya Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah
Studi Tentang Konspirasi yang melibatkan buah diskusi antara Aidit
dengan Mao Dzedong yang juga mirip dengan kisah detektif, yang pernah
menghebohkan Jakarta pada 2005 yang lalu.
Sebagian besar pendukung BK terutama di kalangan angkatan
bersenjata sampai akhir 1965 dan permulaan 1966 berharap sang penyambung
lidah rakyat akan segera memberikan perintah untuk menindak keras
Jenderal Suharto cs, sebelum sang pembangkang lebih bersimaharajalela
dan menjerumuskan negeri ini. BK selalu mendambakan persatuan dan anti
kekerasan, terus-menerus menjaganya sampai detik terakhir kekuasaannya.
‘Celah’ itu justru digunakan Jenderal Suharto melakukan kekerasan
berdarah besar-besaran dan sistematis membasmi sekelompok rakyat
Indonesia yang setia mendukung BK, praktis tanpa perlawanan berarti
bagaikan menyerahkan leher mereka masing-masing untuk digorok. Sampai
detik terakhir BK menolak usulan para pengikutnya terutama dari kalangan
Angkatan Bersenjata untuk melakukan perlawanan terhadap langkah-langkah
kekerasan berdarah Jenderal Suharto.
Setelah dijatuhkannya BK maka sejarah Indonesia menyimpang dari
garis-garis yang telah diletakkan dan diperjuangkan olehnya sejak muda,
Indonesia telah terjungkirbalik menjadi negara penuh penindasan, negeri
tergantung hampir dalam segalanya. Budaya korupsi telah benar-benar
mencengkeram seluruh aspek kehidupan bangsa dengan mengkhianati ajaran
Trisakti: bebas dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan
berkepribadian dalam kebudayaan. Pancasila yang dikumandangkan oleh
penggalinya sebagai alat pemersatu seluruh potensi bangsa telah
dijadikan alat pecahbelah oleh rezim militer Orba, alat manipulasi.
Jadilah Pancasila azas tunggal dengan tafsir tunggal rezim militer
Jenderal Suharto menurut kepentingan sang rezim (Harsutejo, Kamus
Kejahatan Orba - Cinta Tanahair dan Bangsa, Komunitas Bambu, Depok,
2010).
--------------------------------------------------------------------------------
* Sebelum meninggal dalam suatu kesempatan percakapan singkat
dengan Joesoef Isak (alm) di Jakarta, Wijanarko mengeluhkan bahwa
kesaksian semacam itulah yang dikehendaki interogator penguasa Orba yang
tak mampu dielakkannya (Keterangan Joesoef Isak kepada penulis pada 25
Juni 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar