Tulisan ini bukanlah resensi buku. Melainkan seruan atau anjuran
kepada orang-orang yang mempunyai hati nurani dan berperkemanusiaan,
atau yang masih sehat jiwanya dan benar nalarnya, untuk berusaha -
dengan segala cara –membaca isi buku “Memecah pembisuan,
Buku “Memecah pembisuan” merupakan kumpulan sebagian kecil sekali (!!!) dari jutaan kisah dari para
korban pembunuhan massal ,
pemenjaraan sewenang-wenang, penahanan dan penyiksaan, pembuangan ke
pulau Buru dan Nusakambangan, perkosaan terhadap ibu-ibu dan gadis yang
ditangkap, dan seribu satu macam penderitaan pahit lainnya.
Mereka itu terdiri 15 “orang-orang biasa” , yang karena berbagai
tuduhan (berdasar atau sama sekali tidak berdasar ) telah ditahan
sewenang-wenang, antara lain di Medan, Palu, Kendari, Yogyakarta,
Jakarta, Bali, Kupang, Pulau Sabu.
Kisah-kisah nyata yang harus diketahui seluruh bangsa
Kisah-kisah nyata dari peristiwa pelanggaran HAM dalam 1965-1966
adalah khazanah besar berharga bangsa kita, yang perlu diketahui
secara seluas-luasnya oleh rakyat Indonesia, termasuk oleh
generasi-generasi kita di kemudian hari.
Kisah-kisah nyata ini, yang selama puluhan tahun rejim Orde Baru
ditutup-tutupi, atau dilarang untuk diketahui oleh masyarakat, sekarang
perlu disebarluaskan, dengan berbagai jalan, bentuk dan cara, untuk
diabadikan, supaya tidak hilang ditelan jaman.
Hanya dari 15 kisah nyata ini saja, kita semua sudah dapat
merasakan serba sedikit betapa pedihnya, betapa sadisnya, betapa tidak
manusiawinya, dan betapa biadabnya berbagai praktek militer di bawah
Suharto terhadap puluhan juta orang-orang kiri pendukung politik Bung
Karno dan simpatisan PKI.
Kalau hanya dengan membaca beberapa bagian isi buku “Memecah
pembisuan” saja, ada orang-orang yang merasa terharu (atau marah)
atas penderitaan 15 orang akibat perlakuan yang begitu biadab oleh
militer Suharto, maka tidak bisa dibayangkan lagi bagaimana perasaan
banyak orang kalau ada jutaan kisah-kisah nyata lainnya tersiar juga
secara luas.
Kisah-kisah nyata tentang pelanggaran HAM dalam tahun 1965-1966 adalah bukti yang tak terbantahkan bahwa
militer (tidak semuanya !) di bawah Suharto dkk
telah melakukan banyak kejahatan-kejahatan secara besar-besaran,
meluas, atau menyeluruh terhadap bangsanya sendiri, di seluruh
Indonesia.
Kisah-kisah nyata yang tidak boleh ditutup-tutupi
Sebagian dari kejahatan-kejahatan besar yang dilakukan dalam tahun
1965-1966 itu telah dilanjutkan – dalam berbagai skala dan cara --
terus-menerus selama 32 tahun Orde Baru, yang dilanjutkan oleh
pemerintahan-pemerintahan berikutnya, sampai sekarang !!!
Itu semua menunjukkan bahwa kisah-kisah nyata tentang pelanggaran
HAM dalam peristiwa G30S merupakan kekayaan berharga dan bersejarah
yang tidak boleh dilupakan oleh bangsa kita, apalagi ditutup-tutupi
atau disembunyikan, apa pun alasannya.
Memang, sejak rejim militer Suharo sudah dipaksa turun dari
kekuasaan diktatorialnya, maka sudah mulai banyak buku dan tulisan
dalam media tentang berbagai cerita tentang pembunuhan massal terhadap
jutaan orang tidak bersalah atau pemenjaraan ratusan ribu tapol, dan
pemisahan begitu banyak orang dari anggota keluarga yang mereka cintai.
Namun, apa yang sudah dibukukan atau disiarkan selama ini dalam
berbagai media itu sungguh amat kecil, atau amat sedikit, dibandingkan
dengan besarnya atau luasnya (dan biadabnya !!!) kejahatan-kejahatan
yang telah dialami oleh puluhan juta orang di seluruh negeri.
Inisiatif yang harus dilanjutkan dan dikembangkan terus
Itulah sebabnya, maka terbitnya buku ”Memecah pembisuan” yang
mengangkat cerita 15 korban pelanggaran HAM 65 merupakan langkah
penting dan sumbangan yang amat besar artinya bagi pendidikan politik
dan moral bangsa.
Terbitnya buku-buku yang sejenis dan sejiwa dengan “Memecah
pembisuan” adalah salah satu cara perjuangan untuk melawan segala macam
politik Orde Baru atau pemerintahan-pemerintahan sejenisnya di
kemudian hari. Tragedi besar, yang menyebabkan begitu banyak korban dan
banyak penderitaan ini tidak boleh terjadi lagi, untuk selama-lamanya
!!!
Oleh karena itu, kiranya adalah perlu sekali bahwa inisiatif yang
serupa (atau searah) dengannya juga dilancarkan oleh sebanyak
mugkin kalangan dan golongan masyarakat, dan terutama sekali oleh
kalangan para korban peristiwa 65, dengan bantuan sukarela dari semua
orang yang menaruh simpati kepada para korban Orde Baru.
Karena pada umumnya para korban peristiwa 65 sudah lajut usia, dan
kehidupan mereka juga tidak mencukupi dan banyak yang sakitan, maka
mengharapkan dari mereka adanya tulisan-tulisan adalah suatu hal yang
sulit. Padahal, justru dari mereka itulah (yang jumlahnya jutaan)
bisa didapat kisah-kisah nyata, yang otentik, yang menarik, sebagai
kesaksian sejarah.
Namun, dengan pengalaman “Memecah pembisuan” yang berhasil
mengangkat pengalaman 15 narasumber dengan cara wawancara dan kemudian
dituangkan kembali oleh team, maka akhirnya bisa berhasil diperoleh
sumbangan yang berupa buku yang menarik itu.
Penggalian kisah-kisah nyata yang makin mendesak
Kita bisa menduga bahwa ada ribuan, bahkan ratusan ribu (!!!) ,
kisah nyata tentang peristiwa 65 yang masih tersimpan dalam hati banyak
orang dan karenanya tidak diketahui oleh masyarakat luas. Karena para
korban peristiwa 65 itu umumnya sudah lanjut usia,dan banyak yang sudah
wafat atau akan segera wafat, maka penggalian kisah-kisah mereka itu
sudah mendesak, sangat mendesak!!! Kalau tidak, maka kita akan
kehilangan satu kekayaan yang begitu berharga itu.
Karena itu, alangkah baiknya bagi bangsa kita seluruhnya, kalau
langkah penting yang sudah diayunkan oleh Lembaga Kreativitas
Kemanusiaan (LKK) bersama International Center for Transitional Justice
dan Tifa Foundation dengan menerbitkan “Memecah pembisuan” itu bisa
diteruskan dan dikembangkan lebih luas lagi oleh berbagai kalangan ,
termasuk LSM dan bermacam-macam organisasi kemasyarakatan lainnya, di
seluruh Indonesia.
Sebab, mengenang kembali peristiwa pelanggaran HAM besar-besaran
(yaitu pembunuhan massal jutaan orang tidak bersalah dan pemenjaraan
sewenang-wenang ratusan ribu orang-orang kiri dan pendukung Bung Karno)
adalah diperlukan sekali untuk kebaikan bangsa dan generasi yang akan
datang.
Dan mengutuk atau menghujat Suharto dkk adalah tindakan yang sah,
sikap politik yang benar, dan sikap moral yang mulia. Sebaliknya tidak
mengutuk segala kejahatan Orde Baru yang begitu banyak dan selama
begitu panjang waktunya adalah sikap politik yang keliru atau sesat dan
sikap moral yang membusuk.
Oleh karena itu segala karya -- oleh siapa saja, dan dari kalangan
yang mana saja – yang mengangkat kisah-kisah nyata dan otentik para
korban peristiwa 65 adalah sumbangan berharga sekali bagi pendidikan
politik dan moral banyak orang.
Para korban 65 tidak perlu takut-takut lagi
Dan kepada para korban beserta keluarga atau sanak-saudara mereka
perlu disampaikan bahwa mereka tidak perlu takut-takut lagi sekarang
ini untuk bersuara atau membuka kisah-kisah nyata mereka sebagai korban
pelanggaran HAM yang begitu hebat, begitu luas, begitu lama, dan
begitu tidak manusiawi itu.
Sekarang ini, para korban peristiwa 65 juga tidak perlu malu-malu
lagi (kepada siapa pun !) bahwa mereka pernah diperlakukan tidak
manusiawi oleh pemerintahan Orde Baru, umpamanya dicap sebagai anggota
atau simpatisan PKI, dijadikan korban politik “bersih lingkungan”,
atau diperlakukan sebagai sampah masyarakat.
Sekarang ini, sudah mulai datang saatnya bagi para korban
peristiwa 65 untuk justru bertindak sebagai penuduh terhadap
pendukung-pendukung Suharto sebagai orang yang di fihak yang salah dan
berdosa.
Perkembangan opini publik di negeri kita sekarang sudah
menunjukkan bahwa kubu Suharto dkk dengan Orde Barunya mulai makin
dipandang negatif sekali. Dalam hal pelanggaran HAM tahun 1965 kubu
Suharto (baca : militer dan Golkar, terutama) mereka adalah defensif
atau tidak berani berkoar-koar lagi mengumbar omongkosong dan fitnah
bahwa para korban adalah orang-orang yang bersalah dan berbahaya bagi
bangsa dan negara.
Para korban peristiwa 65, yang jumlahnya jutaan (bahkan puluhan
juta kalau dihitung dengan para keluarga mereka) sekarang bisa
mengatakan dengan lantang, tegas, dan jelas-jelas : “Kami tidak
bersalah apa-apa sama sekali, yang salah besar dan amat jahat dan juga
sangat berdosa adalah kalian !!!”.
Atau begini :”Kami bukan pengkhianat Republik Indonesia, melainkan
kami adalah pendukung Pemimpin Besar Revolusi, yaitu Bung Karno.
Suhartolah yang pengkhianat, terhadap Bung Karno dan terhadap revolusi
dan cita-cita proklamasi 17 Agustus 45 !”
Paris, 24 September 2011
- Umar Said
Catatan tambahan :
Nama buku : Memecah pembisuan
Penerbit : Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan (LKK)
Editor / Putu Oka Sukanta
Tebal : 315 halaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar