Oleh HD. Haryo Sasongko
Pada saat situasi politik di negeri kita masih genting berkaitan
dengan tragedi yang terjadi pada 1 Oktober 1965 yang dikenal dengan sebutan G-30-S atau Gestapu (Bung Karno menyebutnya Gestok, Gerakan Satu Oktober), maka setelah keluarnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret 1966) sehari kemudian tidak hanya PKI dibubarkan, tetapi disusul dengan ditangkap dan ditahannya 15 orang menteri. Salah seorang di antaranya adalah Dr Soebandrio yang ketika itu menjabat sebagai Waperdam (Wakil Perdana Menteri) I yang kemudian dihadapkan pada sidang Mahmillub (Mahkamah Militer Luar Biasa) dan dijatuhi hukuman mati, kemudian diubah menjadi hukuman seumur hidup dan akhirnya dibebaskan. Dalam sidang Mahmillub tersebut, bertindak sebagai oditurnya adalah Durmawel Achmad. Lebih dari 30 tahunan kemudian setelah keluarnya TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tanggal 12 Maret yang berisi pencabutan kekuasaan Bung Karno sebagai presiden, tersebarlah informasi yang dimuat sebuah suratkabar mingguan yang menyajikan transkrip pemeriksaan oleh Durmawel Achmad atas diri Bung Karno sebagai saksi ahli dalam perkara Soebandrio, yang kemudian dikenal dengan sebutan "Dokumen Slipi" tahun 1968. Disebut demikian mungkin karena proses pemeriksaannya tidak dilakukan di depan sidang Mahmillub melainkan di Wisma Yasso Slipi, di mana Bung Karno menjalani tahanan rumah sampai meninggalnya. Durmawel Achmad sendiri menyatakan bahwa dokumen yang disebut-sebut merupakan kesaksian terakhir Bung Karno yang sudah tidak menjabat lagi sebagai presiden itu tidak pernah ada. Namun menurut A. Dahlan Ranuwihardjo, mantan anggota DPRGR dan MPRS, juga mantan Ketua Umum Pusat HMI, "Dokumen Slipi" itu sahih dan benar adanya. Artinya, menurut keyakinan Dahlan Ranuwihardjo, Bung Karno memang benar-benar pernah menjalani pemeriksaan, hanya mungkin tidak diumumkan dan baru diketahui belakangan setelah berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang kemudian dipublikasikan oleh sebuah surat kabar mingguan yang terbit pada tahun 2000 di mana era reformasi mulai bergulir dan berbagai fakta sejarah yang semula tersembunyi (disembunyikan) mulai terungkap. * * * Meskipun belum ada kejelasan apakah dokumen yang berupa transkrip tersebut sahih atau tidak sahih dan hanya hasil rekayasa pihak tertentu untuk melukiskan bahwa seolah-olah memang ada pemeriksaan atas diri Bung Karno (yang oleh Durmawel dipanggil Tuan Sukarno), namun dengan mengikuti susunan kalimatnya, juga alur pemikirannya, tampaknya dokumen tersebut memang asli merupakan ucapan Bung Karno. Lebih-lebih isi kesaksian dan pengakuan Bung Karno yang merasa bersalah karena kebijakan politiknya dengan Dekrit Presiden, Demokrasi Terpimpin dan sebelumnya telah membuka kran bagi keterlibatan kalangan militer dalam pengambilalihan perusahaan- perusahaan Belanda menjadi perusahaan negara, di mana kalangan militer banyak yang duduk sebagai pengelolanya. Semua ini telah membuka jalan bagi munculnya militokrasi (kekuasaan militer). Ada beberapa hal pokok yang ditanyakan oleh Durmawel. Yang utama adalah apakah Tuan Soekarno itu pengikut paham komunisme atau tidak. Dan mantan presiden, murid HOS Tjokroaminoto, penggagas konsep Marhaenisme yang kemudian menjadi dasar ideologi PNI yang didirikannya itu dengan tegas menjawab dirinya bukan orang komunis tetapi memang mempelajari Marxisme dan sosialisme sejak masih kuliah di HBS (sekarang ITB). Orang yang berpaham Marxisme, tidak selalu berarti berpaham komunisme sebagaimana dikembangkan di masa Lenin sehingga menjadi Marxisme-Leninisme yang isi ajarannya disesuaikan dengan keadaan di Rusia, namun menurut Bung Karno tidak sesuai dengan kondisi sosial budaya Indonesia. Tetapi sebagai seorang nasionalis ia menampilkan gagasan nasakom (nasionalis, agama, komunis) karena secara konkrit ketiga golongan itu ada dan perlu diajak bersama-sama secara gotong royong untuk membangun Indonesia sesuai dengan kondisi sosial budaya yang ada. Namun Bung Karno mengakui, golongan kom yang banyak memanfaatkan konsep nasakom ini untuk tampil lebih dominan. Bahkan Bung Karno sangat tidak senang dengan sikap para tokoh PKI, terutama Aidit yang dinilainya sombong dan ingin mendiktenya mentang-mentang merasa mempunyai massa. Sejumlah jenderal AD juga tidak menyukai perkembangan yang condong ke kiri ini. Namun baik para jenderal maupun mereka yang menentangnya, yang berpuncak pada tragedi penculikan dan pembunuhanterhadap para jenderal pada 1 Oktober 1965 yang terutama pelakunya dari Tjakrabirawa (Untung) dan Brigif Jaya Sakti (A. Latief), kesemuanya dianggap telah mengkhianati Bung Karno karena tidak pernah melapor. Dengan uraian ini Bung Karno ingin menegaskan bahwa dirinya tidak tahu-menahu tentang G-30-S. Dan Bung Karno juga merasa dikhianati karena Supersemar yang dimaksudkan untuk memberi perintah kepada Jenderal Soeharto guna melakukan tugas administrasi di bidang keamanan malah disalahgunakan untuk mengambil tindakan politik sebagaimana sudah disebutkan. Padahal, itu bukan surat penyerahan kekuasaan (transfer of authority) sebagaimana diungkap dalam pidato terakhirnya 17 Agustus 1966 yang kita kenal disebut "Jasmerah" (Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah). Namun di balik itu semua, Bung Karno mengakui bahwa kalangan militer mendapat peluang untuk mendominasi negeri ini sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945, pembentukan MPRS dan DPRGR, di mana sejumlah perwira militer, termasuk AH Nasution, duduk sebagai anggotanya. Dan dengan telah dilakukannya pengambilalihan perusahaan Belanda dijadikan perusahaan negara di mana banyak anggota militer juga menjadi pengelolanya, maka mulailah era militer berpolitik dan berbisnis. Pihak-pihak yang tidak setuju dengan kecenderungan ini mengkhawatirkan bahwa Demokrasi Terpimpin justru akan menjurus tersingkirnya demokrasi dan melahirkan militokrasi. Dan Bung Karno dalam pemeriksaan itu akhirnya mengakui bahwa "kekhawatiran itu ternyata menjadi kenyataan. Supersemar telah dijadikan titik awal militokrasi dan ABRI menguasai segala bidang kehidupan dalam kenegaraan dan masyarakat. Saya keliru, saya salah. Kedaulatan harus dikembalikan pada rakyat". Bung Karno tentu saja tidak tahu bahwa militokrasi kemudian berkuasa di negeri ini selama Orde Baru berkuasa tak kurang dari 32 tahun lamanya, bahkan di era reformasi yang mencoba mengakhiri militokrasi namun justru telah membuka peluang kembalinya militokrasi. Bung Karno dulu jatuh lewat kudeta merangkak, dan kini reformasi juga layu sebelum berkembang karena sedang menghadapi hal yang sama, menghadapi "kudeta merangkak" lewat partai-partai yang secara terselubung ingin mengembalikan kejayaan militokrasi. Tetapi kembali pada pertanyaan awal, apakah "Dokumen Slipi" yang sudah berusia lebih dari 30 tahun yang sebagian uraiannya dipetik dalam tulisan ini benar-benar ada? Meskipun isinya memang benar adanya? Tentu tugas para peneliti sejarah yang kompeten untuk menjawabnya, dalam rangka ikut mencerahkan sejarah bangsa, terutama sejarah proklamator kemerdekaan sekaligus founding father kita yang satu ini. (Penulis, pemerhati masalah sosial politik, terutama berkait dengan pelanggaran HAM)
REV:
Sumber: acak-corak.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar