G30S/SOEHARTO, BUKAN G3OS/PKI
Berikut adalah tulisan tokoh PKI Hasan Raid alm (dengan nama samaran
Sulangkang Suwalu) yang berjudul « G30S/Soeharto, bukan G30S/PKI »,
dan disiarkan di berbagai mailing-list
Tulisan ini iambil dari apakabar@access.digex.net , 8 Agustus 1998
« Sudah hampir 2 bulan Soeharto dipaksa berhenti sebagai presiden
oleh kekuatan mahasiswa dan rakyat. Dengan demikian gagallah rencananya
untuk terus menjadi Presiden sampai dengan 2003. Sementara itu 21/2
bulan lagi adalah hari genapnya 33 tahun meletusnya G30S.
Ki Oetomo Darmadi (Swadesi, No 1541/Th XXX/Juli 1998)
mengemukakan, "Sudah 33 tahun tragedi nasional, apa yang disebut G30S
menjadi ganjalan sejarah. Sudah seyogianya di era reformasi sekarang
misteri tersebut disingkap secara transparan, jujur terbuka".
"Mengapa, ini penting sebagai pelajaran sejarah, betapa dahsyatnya
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut terhadap
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Antara lain bangsa ini
terbelah menjadi dua: Orde Lama dan Orde Baru, dengan implikasi luas
pada sektor kehidupan sosial, politik, ekonomi dan pertahanan keamanan.
Terlebih-lebih
jika ditilik dari hak dasar azasi manusia (HAM) hampir seluruh
Deklarasi HAM PBB (10 Des 1948) dilanggar. Pancasila hanya dijadikan
lips-service, dan hampir semua hak warga sipil yang termaktub dalam
batang tubuh UUD 45 dinodai. Terlalu banyak lembar catatan keganasan
rezim Soeharto selama 32 tahun berkuasa, sehingga ada yang menjuluki
'drakula', pembunuh berdarah dingin den sebagainya. Tidak mengherankan
jika Indonesia ditempatkan sebagai pelanggar HAM terberat, sebab korban
penubunuhan massal peristiwa G.30-S/PKI 1965 saja melampaui korban
Perang Dunia II."
Sesungguhnya sudah lama dituntut supaya misteri G30S yang
sesungguhnya diungkap secara terbuka, jujur dan adil. Hanya saJa
tuntutan semacam itu di masa Soeharto berkuasa suatu yang mustahil bisa
dilaksanakan. Sebab dengan membuka misterinya, akan terbuka lah bahwa
G3OS yang sesungguhnya ialah G30S/Soeharto, bukan G30S/PKI. Mari kita
telusuri!
HUBUNGAN SOEHARTO DENGAN G30S
Hubungan Soeharto, terutama dengan Kolonel Latief, seorang tokoh
G3OS, begitu akrab dan mesranya. Lepas dari persoalan apakah hubungan
yang erat itu karena Soeharto yang menjadi bagian atau pimpinan G30S
yang tersembunyi, atau karena kelihaian Soeharto memanfaatkan
tokoh-tokoh G30S untuk mencapai tujuannya menjadi orang pertama di
Indonesia.
Hubungannya itu dapat diketahui, ketika pada 28 September 1965,
Kolonel Latief bersama isterinya berkunjung ke rumah Jenderal Soeharto
di jalan H. Agus Salim. Menurut Kolonel Latief (Kolonel Latief:
"Pembelaan sidang Mahmilti II Jawa Bagian Barat" 1978) maksud
kunjungannya ialah guna menanyakan adanya info Dewan Jenderal,
sekaligus melaporkan kepada beliau.
"Oleh beliau justru memberitahukan kepada saya, bahwa sehari
sebelum saya datang, ada seorang bekas anak buahnya berasal dari
Yogyakarta, bernama Soebagiyo, memberitahukan tentang adanya info Dewan
Jenderal AD yang akan mengadakan coup d'etat terhadap kekuasaan
pemerintahan Presiden Soekarno. Tanggapan beliau akan diadakan
penyelidikan".
Seterusnya Kolonel Latief mengemukakan bahwa 30 September 1965
(malam), ia berkunjung ke RSPAD untuk menjumpai Jenderal Soeharto, yang
sedang menunggui putranya yang tersiram sup panas. Sambil menjenguk
putrandanya itu, juga untuk melaporkan bahwa dini hari l Oktober l965
G30S akan melancarkan operasinya guna menggagalkan rencana kudeta yang
hendak dijalankan Dewan Jenderal. Kunjungannya ke Jenderal Soeharto di
RSPAD tersebut, adalah merupakan hasil kesepakatan dengan Kolonel
Untung dan Brigjen Supardjo.
Seperti diketahui menurut Brigjen Supardjo (Tempo, 1 Oktober 1988)
tanggal 16 September 1965 telah terbentuk gerakan tsb, di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Untung. Kolonel Latief semula berkeberatan
Letkol Untung menjadi pimpinannya dan meminta supaya gerakan dipimpin
seorang jenderal. Tetapi karena Kamaruzzaman (Syam) memtahankan supaya
tetap Untung, karena ia pengawal presiden, maka akhirnya Letnan Kolonel
Untung yang memimpinnya.
Kamaruzzaman ini menurut Wertheim (Wertheim: "Sejarah tahun 1965
yang tersembunyi" dalam Suplemen Arah, No 1 th 1990) adalah "seorang
double agent". Yang dimaksud "double agent" Wertheim ialah agennya
Aidit (dalam Biro Khusus) dan agen Soeharto (yang diuntungkan oleh
Peristiwa G30S).
Sesungguhnya G30S tak akan bisa melancarkan operasi militernya
dini hari lOktober 1965 itu, sekiranya Jenderal Soeharto mencegahnya dan
bukan membiarkannya. Tampaknya karena Soeharto berkepentingan agar
Men/Pangad A. Yani terbunuh, maka dengan diam-diam direstuinya operasi
militer G30S yang hendak dilancarkan itu. Jika Soeharto tidak
berkepentingan terbunuhnya A.Yani, tentu rencana operasi G30S itu akan
dicegahnya, atau langsung saja Kolonel Latief ditangkapnya, atau
rencana G30S itu dilaporkannya kepada atasannya, misalnya kepada
Jenderal Nasution. Dengan demikian operasi G30S itu gagal.
Bagi Kolonel Latief dengan tidak ada pencegahan dari Jenderal
Soeharto, berarti Jenderal Soeharto merestuinya dan operasi G30S dini
hari l Oktober dilaksanakannya.
Soeharto merestui operasi G30S itu secara diam-diam, karena ia
mengetahui ada sebuah konsensus dalam TNI-AD bahwa bila Pangad
berhalangan, otomatis Panglima Kostrad yang menjadi penggantinya. Dan
Panglima Kostrad ketika itu adalah dirinya sendiri.
MALING BERTERIAK MALING
Paginya (pukul 6.30), dengan dalih ia mendapat informasi dari
tetangganya, Mashuri, bahwa Jendral A. Yani dan beberapa jenderal lain
telah terbunuh, Soeharto dengan Toyotanya, sendirian (tanpa pengawal)
berahgkat ke Kostrad. Melalui Kebun Sirih, Merdeka Selatan. Soeharto
sudah tahu benar siapa sasaran G30S.
Sejalan dengan laporan yang disampaikan Kolonel Latief kepada
Jenderal Soeharto di RSPAD malam itu, maka daerah, dimana markas Kostrad
terletak, tidak diawasi atau dijaga pasukan G30S. Yang dijaga hanya
daerah lain saja di Merdeka Selatan. Ini menjadi indikasi adanya saling
pengertian antara G30S dengan Panglima Kostrad. Jika tidak ada saling
pengertian, tentu daerah di mana Markas Kostrad berada juga akan dijaga
pasukan G30S.
Menurut Yoga Sugama (Yoga Sugama: "Memori Jenderal Yoga" [hal:
148-153]) pada pagi 1 Oktober 1965 itu, dirinyalah yang pertama tiba di
Kostrad. Kepada Ali Murtopo, Yoga Sugama memastikan bahwa yang
melancarkan gerakan penculikan dini hari tersebut, adalah anasir-anasir
PKI. Ali Murtopo tidak begitu saja mau menerima keterangan Yoga Sugama
tersebut.
Setelah ada siaran RRI pukul 7.20, yang mengatakan telah terbentuk
Dewan Revolusi yang diketuai Kolonel Untung, maka Yoga Sugama
memperkuat kesimpulannya di atas. Sebab Yoga Sugama kenal Untung sebagai
salah seorang perwira TNI-AD yang berhaluan kiri. Untung pernah
menjadi anak buahnya ketika RTP II bertugas menumpas PRRI di Sumatera
Barat.
Jenderal Soeharto juga bertanya kepada Yoga Sugama, "Apa kira-kira
Presiden Soekarno terlibat dalam gerakan ini." Yoga Sugama dengan
tegas menjawab "Ya". Tuduhan Yoga Sugama bahwa dibelakang gerakan itu
adalah anasir-anasir PKI dan Presiden Soekarno terlibat, tentu saja
sangat membesarkan hati Soeharto. Karena dengan demikian rencananya
untuk menghancurkan PKI dan menggulingkan Presiden Soekarno mendapat
dukungan dari bawahannya.
Pada pukul jam 9.00 pagi itu Jenderal Soeharto (Tempo, 1 Oktober
1998) memberikan briefing. Dengan tegas ia mengatakan: "Saya banyak
mengenal Untung sejak dulu. Dan Untung sendiri sejak 1945 merupakan anak
didik tokoh PKI Pak Alimin". Ini tentu bualan Soeharto saja. Sebab Pak
Alimin baru kembali ke Indonesia pertengahan tahun 1946. Bagaimana ia
mendidik Untung sejak tahun 1945, padahal ketika itu Pak Alimin masih
berada di daratan Tiongkok.
Tidak lah kebetulan Kamaruzzaman mempertahankan Kolonel Untung
menjadi pimpinan G30S. Sudah diperhitungkannya, bahwa suatu ketika nama
Untung tsb akan dapat digunakan sebagai senjata oleh Soeharto untuk
menghancurkan PKI.
Kamaruzzaman memang seorang misterius. Secara formal dia adalah
orangnya Aidit (dalam BC). Sedang sesungguhnya dia adalah di pihak
lawannya Aidit, dia bertugas menghancurkan PKI dari dalam.
Untuk itu lah maka Kamaruzzaman, seperti dikatakan Manai Sophian
(Manai Sophiaan ("Kehormatan bagi yang berhak") membuat ketentuan bahwa
persoalan yang akan disampaikan kepada Aidit, harus melalui dirinya.
Banyak hal yang penting yang tak disampaikannya pada Aidit. Akibatnya
setelah gerakan dimulai terjadilah kesimpangsiuran, penyimpangan yang
merugikan Aidit/PKI.
Sesuai dengan rencananya, maka Soeharto (G.30-S pemberontakan
PKI", Sekneg, 1994, hal 146, 47) pada 1 Oktober tersebut tanpa
sepengetahuan, apalagi seizin Presiden/Pangti Soekarno mengangkat
dirinya menjadi pimpinan TNI-AD. Padahal jabatan Panglima suatu
angkatan, adalah jabatan politik. Itu merupakan hak prerogatif Presiden
untuk menentukan siapa orangnya.
Dikesampingkannya hak prerogatif Presiden/Pangti ABRI tersebut,
diakui Soeharto dalam 4 petunjuk kepada Presiden Soekarno yang harus
disampaikan oleh Kolonel KKO Bambang Widjanarko yang berkunjung ke
Kostrad 1 Oktober 1965 itu. Kedatangan Bambang Widjanarko adalah untuk
memanggil Jenderal Pranoto Reksosamudro yang telah diangkat menjadi
caretaker Menpangad sementara oleh Presiden, untuk datang ke Halim
menemui Presiden Soekarno.
Usaha Bambang Widjanarko untuk meminta Jenderal Pranoto
Reksosamudro ke Halim itu dihalangi Soeharto. Empat petunjuk tersebut
ialah:
1. Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro dan Mayjen TNI Umar
Wirahadikusumah tidak dapat menghadap Presiden Soekarno untuk tidak
menambah korban. (Ini berarti Soeharto menuduh Presiden Soekarno lah
yang bertanggungjawab atas penculikan sejumlah jenderal dini hari 1
Oktober tersebut. Sesuai dengan jawaban Yoga Sugama kepadanya tentang
keterlibatan Presiden Soekarno dalam G30S. Karena Ketua Dewan Revolusi
adalah Kolonel Untung, pasukan pengawal Presiden Soekarno)
2. Mayjen TNI Soeharto untuk sementara telah mengambil oper
pimpinan TNI-AD berdasarkan perintah Tetap Men/Pangad. (Ini berarti
perintah tetap Men/Pangad, maksudnya konsensus dalam TNI-AD lebih tinggi
dari hak prerogatif presiden dalam menentukan siapa yang harus
memangku jabatan panglima suatu angkatan).
3. Diharapkan agar perintah-perintah Presiden Soekarno selanjutnya
disampaikan melalui Mayjen TNI Soeharto. (Ini berarti Mayien TNI
Soeharto yang mengatur Presiden Soekarno untuk berbuat ini atau itu,
meski pun dibungkus dengan kata-kata "diharapkan". Semestinya Presiden
yang mengatur Mayjen Soeharto, bukan sebaliknya. Presiden adalah
Panglima Tertinggi ABRI).
4. Mayjen TNI Soeharto memberi petunjuk kepada Kolonel KKO Bambang
Widjanarko agar berusaha membawa Presiden Soekarno keluar dari
Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, karena pasukan yang berada di
bawah komando Kostrad akan membersihkan pasukan-pasukan pendukung G3OS
yang berada di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah sebelum tengah
malam 1 Oktober 1965. (Ini berarti Soeharto "memerintahkan" Soekarno
meninggalkan Pangkalan Udara HPK, karena Halim akan diserbu. Padahal
sebelumnya Presiden Soekarno telah memerintahkan kepada Brigjen
Supardjo supaya menghentikan operasi militer G30S dan jangan bergerak
tanpa perintahnya. Tampaknya perintah lisan Presiden/Pangti Soekarno
demikian, dianggap tidak berlaku bagi dirinya. Malahan situasi
itudigunakannya untuk "memukul" pasukan G30S.
Empat petunjuk Mayjen Soeharto kepada Presiden Soekarno melalui
Kolonel KKO Bambang Widjanarko menunjukkan: dengan menggunakan G30S,
Jenderal Soeharto mulai l Oktober 1965 secara de facto menjadi penguasa
di Indonesia. Sebagai langkah awal untuk memegang kekuasaan de jure di
Indonesia nantinya. Ya, maling berteriak maling. Dirinya yang kudeta,
PKI yang dituduhnya melakukan pemberontakan.
PEMBANTAIAN MASSAL
Sesudah kekuasaan secara de facto berada di tangannya, hunting
(perburuan) terhadap anggota dan simpatisan PKI dilancarkannya
sejadi-jadinya. Menurut MR Siregar (MR Siregar: "Tragedi Manusia dan
Kemanusiaan", Amsterdam 1993, hal: 214-217) betapa ganasnya perburuan
untuk meruntuhkan moral orang-orang komunis sehingga tak berani
melakukan perlawanan. Istilah hunting (perburuan) ini digunakan Sumitro
dalam wawancaranya dengan BBC.
Sekadar ilustrasi dari hunting Sumitro dapat dikemukakan, di antaranya:
Di Jakarta: Sekawan progrom menjerang air dalam drum. Ketika air
sudah menggelegak, seorang yang mereka "amankan", kalau tidak lupa dari
IPPI, dengan posisi kepala ke bawah dan kaki ke atas, dicelupkan ke
dalamnya. Adegan mengerikan dan memilukan yang tak dapat disaksikan mata
manusia biasa menggelitik pembunuh-pembunuh berdarah dingin itu.
Di Jawa Tengah: HJ Princen mengatakan dia yakin sekitar 800 orang
telah dibunuh dengan pukulan batang-batang besi pada kepala, tapi bahwa
jumlah tsb mungkin lebih tinggi. Selain daripada itu pasukan di bawah
pimpinan Sarwo Edhie pergi dari desa ke desa, membawa pergi
korban-korban mereka dengan truk-truk untuk dibunuh. Banyak dari mereka
diwajibkan menggali kuburannya sendiri.
Di Jawa Timur: Banser, sayap militer dari ANSOR menjelajahi
desa-desa. Mengambil orang-orang komunis. Mereka membawa korban-korban
mereka ke desa berpenduduk padat dan membunuhnya. Beberapa diantaranya
ditanam dalam kuburan yang dangkal, yang digali sendiri oleh para
korban, dan jenazah-jenazah lain dilemparkan ke dalam sungai atau
sumur-sumur. Tumpukan mayat terhampar pada pesisir sungai, dan sejumlah
sungai sampai tersumbat oleh apungan mayat-mayat.
Di Kupang: Seorang pemimpin PKI dikeroyok kawanan progrom. Setelah
lemah dihajar, kedua belah tangannya diikat dengan seutas tali panjang.
Ujung lain dari tali itu diikatkan pada sebuah jeep tentara. Jeep ini
kemudian meluncur ketengah-tengah kota, menyeret sang korban yang
terbanting-banting sepanjang route yang dilalui. Sang korban
memekik-mekik dan mengerang bukan kepalang.Jalan-jalan yang dilalui
berbelang ceceran darah sang korban. Muka dan tubuhnya terkelupas.
Di Sulawesi Utara: Sejumlah tangkapan kader PKI dihajar
habis-habisan. Dengan tangan terikat dibawa berlayar ke lepas pantai.
Sesampai di geladak, setiap kaki mereka digantungi batu-batu besar.
Kemudian jangkar diangkat dan kapal pun segera melaju ke lepas pantai.
Pesta pesiar maut ini dimulai dengan membuang hidup-hidup para korban
seorang demi seorang ke laut.
Menurut Sarwo Edhie (MIK: "50 tahun Merdeka & Problema
Tapol/Napol", 1995, hal 59), seperti yang dikemukakannya kepada Permadi
SH dan oleh Permadi SH disampaikannya dalam Seminar Sehari 28 Januari
1995 di LBH Jakarta, bahwa jumlah yang dibunuh dalam peristiwa G30S itu
bukan 1,5 juta orang, melainkan 3 juta orang. Sebagian besar atas
perintahnya.
Mengenai pembantaian terhadap massa anggota dan simpatisan PKI
ini, menurut Manai Sophiaan (Manai Sophiaan: "Kehormatan Bagi yang
Berhak", 1994, hal 311) korban penumpasan sangat besar. Abdurrahman
Wahid, Ketua PBNU ketika diwawancarai oleh "Editor", mengaku bahwa
orang Islam membantai 500.000 eks PKI. Tentu masih ada lagi yang
dibunuh oleh orang-orang yang tidak masuk orang Islam. Maka angka 1
juta, seperti yang diumumkan oleh Amnesti Internasional, bisa
dimengerti.
Sedang Dawam Rahardjo (Masalah Tapol & Napol dari Perspektif
Konstitusi, 1994, hal 58-59) mengemukakan dalam Seminar di LBH bahwa
dalam film "Riding a Tiger" diceritakan mengenai keterangan seorang
yang sangat lugu sekali, bagaimana membunuh orang-orang PKI secara
sangat teratur dan sopan, pokoknya diatur dengan baik, sehingga tidak
menimbulkan gejolak-gejolak dsb. Padahal bagi orang lain, itu merupakan
suatu pertunjukkan yang mengerikan sekali. Demikian jugalah dengan
bagaimana tahun 1965 telah terjadi pembunuhan bangsa kita oleh bangsa
kita sendiri, termasuk oleh orang Islam dimana bila mengingat itu
semua, timbul rasa ngeri bercampur malu, rasa berdosa yang besar.
Dawam Rahardjo juga mengemukakan bahwa tapol mulia karena mereka
adalah orang-orang yang berpendirian. Sebenarnya pemrasaran takut
mengatakan hal ini, tapi kalau konsekuen kita sebenarnya harus
menghargai orang-orang PKI juga, sebab orang-orang PKI juga mempunyai
cita-cita luhur. Mereka bukan orang kriminal.
G30S BUKAN PEMBERONTAKAN PKI
Permadi SH (50 tahun Merdeka & Problema Tapol/Napol, 1995, hal
59) dalam Seminar Sehari di YLBHI pada 28 Januari 1995 mengemukakan
"Saya kesulitan menjawab pertanyaan anak-anak muda sekarang. Kalau
memang PKI itu berontak, berontak terhadap siapa? Sebab pemerintah
waktu itu yang dipimpin Bung Karno menguntungkan posisi mereka.
Kemudian berapa orang yang dibunuh PKI?
Benarkah PKI punya bedil dan membunuh orang-orang lain, kecuali
yang 7 jenderal dan beberapa kolonel dan lain sebagainya dan itu pun
masih dipertanyakan: apakah PKI atau tentara sendiri yang membunuhnya.
Menurut Oei Tjoe Tat (Oei Tjoe Tat: "Memoar Oei Tjo Tat", hal 171)
yang jelas Presiden Soekarno tidak merasa diberontaki PKI. Kalau G30S
itu pemberontakan PKI, berarti PKI berontak pada pemerintah Soekarno 1
Okt 1965. Bila demikian, mengapa Nyoto (orang ketiga dalam PKI) tidak
ditangkap Soekarno ketika hadir dalam sidang Kabinet 6 Okt 1965? Malah
ketika sidang Kabinet 6 Oktober tsb, kebetulan saya berdekatan duduk
dengan Nyoto, oleh Bung Karno disilakannya untuk ngomong-ngomong.
Juga dalam pidato Presiden Soekarno (Dalam buku "Memenuhi
Panggilan Tugas", jilid 7, hal 172-173) tanggal 21 Desember 1965
mengatakan: Gestok (Gerakan 1 Oktober -pen) harus kita hantam, tetapi
komunisme tidak bisa, karena ajaran komunis itu adalah hasil keadaan
objektif dalam masyarakat Indonesia, seperti halnya nasionalis dan
agama. Nasakom telah kutulis sejak aku berumur 25 tahun dalam tahun
1926, dan ini akan kupegang teguh sampai aku masuk liang kubur.
Menurut Manai Sophiaan (Manai Sophiaan: "Kehormatan Bagi yang
Berhak", hal 312) sesudah Brigjen Supardjo (dari G30S) melaporkan apa
yang terjadi dini hari 1 Oktober pada Presiden Soekarno di Halim,
Presiden Soekarno memerintahkan Brigjen Supardjo untuk menghentikan
semua operasi militer G30S. Perintah itu diberikan, pada saat G30S
secara militer dalam posisi memegang inisiatif. Ini terjadi di Halim 1
Okt 1965. Perintah lisan Presiden Soekarno itu ditaati, operasi militer
berhenti seketika. Senjata yang berada di tangan para militer, yang
berkekuatan dua batalyon, diperintahkan oleh AURI supaya dikembalikan
ke dalam gudang.
Seorang saksi mata yang berada di Halim 1 Okt 1965 itu mengatakan
bahwa DN Aidit yang juga berada di Halim ketika mendengar perintah
supaya operasi militer dihentikan, memberi reaksi marah.
Melapornya Brigjen Supardjo kepada Presiden Soekarno dan bukan
kepada Aidit, menjadi bukti yang hidup bahwa G3OS bukan pemberontakan
PKI dan bukan PKI yang menjadi dalagnya. Kalau PKI yang berontak atau
menjadi dalangnya, tentu Brigjen Supardjo melapornya kepada Aidit dan
bukan kepada Presiden Soekarno. Padahal Brigjen Supardjo dengan tidak
memperdulikan bagaimana reaksi Aidit terhadap perintah lisan Presiden
Soekarno untuk menghentikan operasi militer. Perintah itu ditaati
sepenuhnya.
Manai Sophiaan (Manai Sophiaan: "Kehormatan Bagi yang Berhak",
hal: 151) melalui bukunya juga mengatakan bahwa Sunardi SH pada tanggal
10 Des 1981 telah mengirim surat kepada 500 alamat pejabat tinggi,
termasuk Presiden Soeharto. Isinya menuduh Presiden Soeharto terlibat
G30S. Sunardi SE ditangkap dan diadili. Dinyatakan sebagai pengkhianat.
Oleh Pengadilan Negeri 7 Oktober 1982 dituntut hukuman 4 tahun 6
bulan, potong masa tahanan.
Di dalam pidato pembelaannya, Sunardi SH mengatakan bahwa coup
d'etat G.30-S 1965 yang dikatakan gagal, justru berhasil dengan baik,
sesuai dengan rencana lebih dulu, telah diatur dan diperhitungkan
dengan cermat, yaitu menjatuhkan kekuasaan Presiden Soekarno sebagai
pemegang pemerintahan yang sah.
Jelasnya, menurut Sunardi SH bahwa G30S adalah kudeta Soeharto,
bukan pemberontakan PKI. Jika G30S pemberontakan PKI tentu Sunardi SH
tidak akan mengatakan G.30-S berhasil. Karena kenyataannya bersamaan
dengan tergulingnya Presiden Soekarno dari kekuasaannya, PKI pun turut
hancur.
Sedang Oei Tjoe Tat (Memoar Oei Tjoe Tat, hal 170) mengatakan:
menurut pengamatan saya sejak 1 dan 2 Oktober 1965 kekuasaan de facto
sudah terlepas dari tangan Presiden Soekarno selaku penguasa RI. Memang
padanya masih ada corong mikrofon, tetapi inisiatif dan kontrol
jalannya situasi sudah hilang. Yang ada hanya tinggal sedikit kekuasaan
atas piranti dan sarana untuk mewujudkan kehendak politiknya. Dengan
kata lain, pada 1 Oktober 1965 berakhirlah sesungguhnya rezim Soekarno.
Sementara itu Ny Dewi Soekarno (Vrij Nederland tanggal 16 April
1970) melalui Surat terbuka yang ditujukannya kepada Jenderal Soeharto
antara lain mengatakan: Tuan telah meyakinkan orang banyak (memfitnah)
dengan melancarkan berita bahwa G.30-S dilakukan oleh PKI. Hal itu
jelas tidak benar. Bukankah yang melakukan gerakan itu orang-orang
militer. Jelas bahwa peristiwa G.30-S adalah akibat pertentangan yang
ada di kalangan ABRI sendiri.
Dalam pada itu Soeharto pada Minggu 23 Januari 1994 menerima
rombongan peserta pembekalan back to basic TNI AL di Tapos Bogor. Di
tengah perbincangan yang santai dan penuh keakraban sepanjang satu
setengah jam itulah Pak Harto, kata Tabloid Detik mengungkapkan: Saya
menerima sebuah buku berjudul "Prima Dosa". Isinya menggugat
pemerintahan sekarang dan menggugat saya, bahwa yang menciptakan G30S
itu saya. Mereka memutar balikan fakta.
Sementara pengamat luar negeri tentang G30S ini menyimpulkan
beberapa hal. Peter Dale Scott, profesor ahli bahasa Inggeris dari
University of California, Berkeley, AS, menerbitkan tulisan yang
berjudul: "The UnitedStates and the Overthrow of Soekarno 1965-1967"
(AS dan penggulingan Soekarno). Karyanya itu dimuat dalam Pacific
Affairs pada tahun 1984, isinya menguraikan peranan CIA dalam
menggerakkan TNI-AD, terutama oleh SESKOAD. Ia menyimpulkan: G30S
kudeta yang dilakukan Soeharto.
Sedang ACA Dake, dalam bukunya setebal 480 halaman, yang berjudul
"In Spirit of the Red Banteng" yang diterbitkan pada 1974 di Den Haag,
mengemukakan bahwa ia berhasil mendapatkan copy dari pemeriksaan
Kolonel Widjanarko yang mengungkapkan bahwa Bung Karno telah memutuskan
pengamanan para jendral yang tidak loyal pada satu rapat rahasia di
Bali dalam bulan Juni 1965 dan merundingkan dengan Untung pada Agustus
1965. Pada 23 September 1965 Komandan Cakrabirawa JenderaL Sabur
diperintahkan "untuk secepat mungkin mengambil tindakan terhadap para
jenderal yang tidak loyal."
Wertheim dalam tulisannya yang berjudul "Soeharto and the Untung
Coup the Missing Link (1970)" menyimpulkan bahwa AD yang melakukan
kudeta. Ia meragukan keterlibatan komunis, karena di saat itu PKI sudah
berada diambang puncak kekuasaan. Jadi buat apa susah-susah lagi
merebut kekuasaan.
Menurut Cornell Papers, persoalan G30S adalah persoalan intern AD.
Jadi bukan PKI yang mendalangi peristiwa itu. Namun pada saat-saat
terakhir ada usaha memancing supaya PKI terlibat. Kalau toh PKI
terlibat, keterlibatannya hanya insidentil.
Dan menarik apa yang dikatakan Leo Suryadinata (Golkar dan
Militer, hal 19-20) bahwa "jika PKI menjadi dalang kudeta, ia adalah
dalang yang sama sekali tidak siap". Artinya, PKI memang tidak
menyiapkan G30S.
KESIMPULAN
Sudah tiba waktunya untuk mengatakan yang benar sebagai benar dan
yang salah sebagai salah. Sejarah G30S yang selama 32 tahun ini
diputarbalikkan oleh kekuasaan Soeharto, harus ditempatkan pada tempat
yang sebenarnya. Yaitu G30S adalah G30S/Soeharto dan bukan G30S/PKI.
Menurut AM Hanafi (AM Hanafi Menggugat, 1998, hal 262) bahwa "G30S
menggunakan Soekarno dan Soeharto menggunakan G30S". Jadi,
"G30S/Soeharto".
***